Pages

Kamis, 17 April 2014

HTS ( Hubungan Tanpa Status )

 Ok kali ini gue akan Membahas sedikit tentang HTS.
HTS, Hubungan tanpa status atau lebih populer lagi TTM, "Teman Tapi Mesra".
TTM sangat berkembang dalam di pergaulan anak remaja zaman sekarang, yang nanti nya gue prediksi bakal populer juga yaitu TTTM, " Teman Tapi Tidak Mesra".

 Untuk menghindari dari pihak - pihak tertentu untuk tau, di perlukan poin - poin Sebagai berikut :
  • Pertama Jaga Jarak mu ! Jangan sampai terlihat terlalu memberikan harapan yang lebih.
  • Ke dua sebisa mungkin membawa kendaraan sendiri - sendiri, karena kamu tidak akan tau yang akan terjadi.
  • Ke tiga itu poin yang paling nggak enak, tapi ngga bisa di hindari dalam HTS.. Berbohong !
So !!
awasi pacar - pacar kalian .. :) buat yang Jomblo sabar aja deh! Jomblo itu adalah kebahagian yang tertunda aja ..
So ! was the hope and always keep smiling :)

Rabu, 16 April 2014

Ghost of Shania part 1


“Dik, mana jambunya?!” teriakku lantang mendangak ke arah pohon jambu itu. Di salah satu dahannya si Dika berusaha memetik satu persatu jambu dan menjatuhkannya ke arah kami.
“Iya.. iya, bentar!” sahutnya kemudian.

Pukk! Pukk! Pukk!
Satu persatu jambu hasil petikan Dika saling berjatuhan. Aku, Reyna, dan Azzam memungutinya dan mengumpulkan ke kantong plastik berukuran besar. Tapi.. ada jambu yang menggelinding jauh dan berhenti tepat di tungkai kaki seseorang. Aku berhenti dan diam di tempat sambil kupandangi kaki misterius itu sampai ke atas.
“Ini jambu kalian?” tanya seorang cewek padaku.
Aku diam lagi saat kulihat wajahnya sangat cantik. Kecantikannya itu melebihi aku dan membuat aku iri banget lihatnya. Kulitnya putih mulus bak porselein, wajahnya rada kayak cewek-cewek korea gitu deh! apalagi rambutnya yang bergelombang indah berwarna coklat gelap.
“I… ya, makasih ya.” Ucapku mengambil jambu dari tangannya.
“Oh iya, boleh aku gabung sama kalian?”

Aku sebenarnya rada terhenyak mendengar kata-katanya. Rasanya agak aneh aja cewek secantik bidadari kayak dia gabung sama geng aku. Apalagi kalau sudah ketemu sama si Dika. Ugh! Pasti dia nggak bakal berhenti nggegebetin cewek ini.

“Eh, Ly! Kamu ngomong sama siapa?” mereka bertiga langsung menghampiri kami berdua.
“Wow! Ada temen baru nih!”
“Yoi, cantik lagi!”
Tuh kan, si Dika mulai lagi dengan gombalannya yang super duper playboy.
“Aku Shania, boleh aku gabung sama kalian?”
Kami saling bertatapan mata. Ada yang mengangguk setuju, kecuali aku yang masih kelihatan ragu. “Udah Ly, biarin aja dia mau gabung sama kita. Lagipula dengan begini kita bisa nambah temen baru. Iya nggak?”
Azzam dan Dika saling mengangguk setuju saat Reyna menerima Shania gabung di geng kita.

“Eh, mbak namanya tadi siapa? Kenalin.. aku Dika. Andika Putra Lesmana.” Sontak Dika menyerobot kami bertiga sambil mengulurkan tangannya.
“Nama saya Shania.” Jawab Shania lagi dengan tutur kata lembut dan sopan. Hingga membuat Dika jadi klepek-klepek nggak berdaya.
“Oh my gosh! Nama yang cantik, secantik orangnya.”
Shania jadi tersipu malu dan dia hanya tersenyum kecil hingga membuat rona pipinya yang putih mulus itu jadi merah merona.
“Wooo…ooo!” kami pun saling menyoraki Dika yang udah keterlaluan playboy.
“Eh, jangan macem-macem ya! Inget Pramesti tuh!”
“Iya… iya! lagian aku juga masih setia kok sama dia.” Sungut Dika rada kesal.
“Ya udah deh, kalau begitu kita makan jambu bareng-bareng yuk!” unjuk Dika dengan nada bijak. Lantas, kami berlima duduk di bawah pohon jambu besar di kebun milik pak Usman dan menikmati jambu hasil buruan kami beramai-ramai.


“Reyn, anterin gue pipis dong. Gue takut nih!” bisikku sambil membangunkan Reyna. Kulihat dengan samar-samar lampu pijar eyangku yang redup itu. Suasananya sangat sepi karena semua orang lagi tidur.
“Duh, gue ngantuk banget nih. Ke kamar mandi sendiri aja ya, Ly.”
Aku sedikit mendesah. Kebiasaan deh kalau Reyna itu susah banget dibangunin.

Akhirnya dengan terpaksa aku bangun sendirian dan pergi ke kamar mandi. Aku membuka pintu besar itu dan di samping kananku ada ruang besar yang digunakan untuk ruang makan keluarga eyang. Dan..
Sekelebat aku ngerasa ada yang orang yang melintas di balik gorden jendela. Cepet banget menghilangnya. Aku berusaha tenang, mungkin ini cuma halusiku aja yang suka mikir macem-macem. Maklum, akhir-akhir ini aku suka banget nonton film horor. Aku berjalan mengarah ke samping kiriku, tempat dimana ada pintu lagi yang akan mengantarkan aku ke kamar mandi. Lagi-lagi.. aku merasa ada yang melintas di belakangku. Dan sontak aja aku menoleh ke belakang.
“Siapa itu? Eyang? Reyn? Dika?” aku manggil nama-nama orang yang ada di rumah ini. Tapi nggak ada jawaban, buru-buru deh aku ngacir ke kamar mandi dan nggak peduli apa yang tadi melintas di belakangku. Beberapa menit kemudian aku keluar kamar mandi. Dan akan masuk ke dalam rumah. Karena kamar mandi dan dapur eyangku letaknya terpisah dari ruangan-ruangan lain. Letaknya pun di belakang rumah.
Saat itu, samar-samar aku melihat ada sosok misterius yang sedang berdiri di dapur gelap eyangku. Tepatnya di depan pintu kecil yang menghubungkan dapur dengan kandang ayam. Wujudnya nggak terlalu kelihatan jelas. Tapi aku bisa menerka sosok itu cewek. Ia memandangi aku sebentar, hingga aku cepat-cepat masuk dan menutup pintu. aku menyeruak di antara selimut tebalku dan berusaha menghilangkan tentang sosok cewek tadi.

“Duh, jujur Reyn! Gue tuh semalam lihat penampakan gitu di dapur eyang. Gue takut banget!”
“Udah deh, Ly. Makanya jangan kebanyakan nonton film horor. Jadi kayak gitu deh akibatnya!” kata Reyna sambil ngomel-ngomel dan dia lagi asyik ngemil klanting (makanan khas daerah eyangku) kami berdua duduk di pagar tembok mengarah ke kebun eyang dan dikejauhan sana ada kebun pak Usman. Aku cuma diam, dan ngaku kalau aku yang salah. Tapi bisa nggak sih Reyna percaya sama aku sedikit aja kalau itu memang bener-bener kenyataan?

Saat Reyna menyingkir dari hadapanku untuk menghampiri Azzam yang lagi asyik internetan di atas dipan kayu, aku melihat sosok cewek itu dari balik pohon-pohon rambutan disana. Dia lagi-lagi menatap aku, hingga akhirnya aku berdiri untuk manggil Reyna.
“Reyn, i…ii.. ituu! ii..tu cewek yang gue lihat kemarin malem!”
“Mana sih? orang nggak ada apa-apa kok!” ketus Reyna kelihatannya rada jengkel mendengar aku suka mikir yang macem-macem. Apalagi tentang hantu.
“Eh, Ly! Mau kemana?” tanya Reyna manggil aku.

Aku nggak ngegubris dia sama sekali. Aku keluar dan menghampiri pohon rambutan tempat dimana aku lihat ada penampakan cewek tadi. Saat aku ada di dekat pohon itu, ternyata nggak ada apa-apa. Justru secara mendadak aku ngerasa ada yang menepuk bahuku.
“Aaaaa!” aku menjerit.
“Lily?” ternyata suara itu berasal dari Shania. “Kamu ngapain disini?” tanya Shania padaku.
“Eng… eng.. enggak kok. aku Cuma.. ya cuma lihat-lihat aja, sambil menikmati udara pagi yang masih segar ini.”
“Oh,”
“Kalau kamu, Shania?” aku balik tanya sama dia.
“Sama kok, aku juga lagi jalan-jalan terus ketemu sama kamu deh.”
“Kamu nggak kerja atau kuliah?”
Shania menggeleng dengan cepat. Sambil berkata, “Kuliahku lagi libur.”
“Kita jalan-jalan bareng yuk!”
“Oh, boleh-boleh. Kalau aku ajak temen-temenku gimana? Kamu nggak keberatan kan?”
“Tentu.” Ucap Shania dengan senyumnya yang begitu hangat.

Akhirnya, aku manggil ketiga temanku untuk ikut jalan-jalanku dengan Shania. Hari ini kami akan keliling desa eyangku. Mungkin ke empang atau ke pinggir sawah atau kalau enggak berburu jambu mete dan buah asem kali ya.

“Gila ya! Tuh cewek secantik Shania masa tinggal sendirian sih di rumah besar itu?” ujar si Azzam sambil membuka obrolan kecil kami saat perjalanan pulang ke rumah eyang. Kami lagi asyik menyusuri jalanan kecil dengan samping kiri kami rumah warga yang dipagari oleh semak-semak belukar dan samping kanan kami kebun yang sebagian besar ditanami pohon kelapa dan singkong.
“Iya sih, gue takutnya dia diperk*sa sama maling..”
Hus! Reyna dengan cepat memotong ucapan Dika yang belum selesai itu.
“Elo tuh ngaco banget sih kalo ngomong.”
“Iya tuh, ngomongin yang enggak-enggak. Tentang Shania lagi.” imbuh Azzam membela omongan Reyna.
“Gue kan cuma mengkhawatirkan Shania, bro!” sengak Dika lagi.
“Mengkhawatirkan sih boleh aja, tapi nggak gitu-gitu amat kalee!”
“Assh, kalian ini pada ngomongin apaan sih?!” ucapku dari tadi ngerasa aneh selama perjalan pulang kami. “Kalian ngerasa ada yang ngikutin kita di belakang nggak?”
“Tuh, mulai lagi deh ngehayalnya!” semprot Reyna lagi-lagi protes.
“Ah udah deh! Daripada ngomongin Shania apalagi nggubris tentang khayalan tingkat tinggi si Lily, mending buruan deh jalannya. Udah mau maghrib nih! Keburu gelap tahu!”

Kata Azzam menyudahi argumen konyol kami. Akhirnya kami mempercepat langkah kaki yang masih berdiri di pertigaan jalan setapak ini. karena jalanan di depan rumah eyang hampir gelap. Cuma dipancari sebuah lampu pijar di pinggir jalan. Itu pun jauh dari tempat kami melangkah. Dan beruntung banget, karena rumah eyang tinggal beberapa langkah lagi. jadi kami bisa sampai disana sebelum azan maghrib berkumandang dan hari senja telah benar-benar gelap.

Hari ini, kami bertiga punya kesempatan buat mampir ke rumah Shania. Maklum mumpung kami belum kembali ke Solo. Dan menikmati liburan kuliah kami yang masih tersisa banyak. Kami menembus tumbuhan ilalang yang tumbuh melintang di sekitar rumah besar Shania.

Rumah Shania terletak di belakang kebun pak Usman dan itu pun kami harus melintasi lahan persawahan yang luasnya berhektar-hektar. Duh, sumpah deh! kalau dipikir-pikir rumah Shania tuh beda banget sama rumah-rumah lain. Rumah Shania letaknya sangat sulit dijangkau oleh sebagian besar warga desa. Letaknya sangat tertutup oleh rimbunan pohon bambu dan rumput ilalang yang sudah memanjang. Hingga menutupi pandangan rumah itu. Ditambah letak bangunan besar itu di atas lahan kosong dan agak berdekatan dengan kuburan. Hii…! serem amat ya. Tapi yang bikin aku heran, kenapa Shania berani amat tinggal sendirian di tempat ini.

“Hai, teman-teman.” Sapa Shania pada kami bertiga yang tengah memasuki ruangan tengah rumahnya. “Selamat datang di rumahku ya, anggap aja rumah ini kayak rumah kalian.”
“Eh.. iya.. iya, Shan. Betewe, rumahmu gedhe banget ya! Tapi, sayang banget kalo…”
“Ssst!” senggol Reyna pada Dika. Aku dan Azzam cuma bisa geleng kepala saat lihat tingkah konyol mereka berdua.
“Ah, Dika bisa aja deh.” Lagi-lagi Shania cuma bisa menyungging senyum karena malu si Dika habis-habisan memujinya. Menurutku itu bukan kata pujian, tapi lebih ke sindiran.

Kemudian, Shania segera mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu.
“Sebentar ya, Shania pergi ke dapur dulu. Bikin suguhan buat kalian semua.”
“Oke deh, Shania.” Ucap Azzam kemudian.
“Eh.. Reyn – Ly, gue sama Dika keliling rumah Shania sebentar ya!” tungkas Azzam pada Reyna.
“Iya.. iya, tapi jangan lama-lama ya!” balas Reyna.
Kulihat Azzam dan Dika segera cabut dari tempat kami yag sedang duduk manis di sofa.

“Lily… tolong aku, Ly…” tiba-tiba aku mendengar suara bisikan aneh di telingaku. Dan ngerasa ada desir angin di dekatku. “Keluarkan aku dari sini…” bisikan itu terus menghantui aku sejak aku masuk di rumah ini. Aku berusaha tenang dan melihat-lihat seisi rumah Shania sambil melupakan bisikan aneh tadi.

Kulihat atap-atap rumah Shania seperti sudah sangat kusam dan hampir dimakan usia. Apalagi kipas hias itu juga hampir mau copot karena bergoyang-goyang diterpa angin.

Gubrakk! Terdengar suara benda jatuh yang nyaris membuat kami kaget.
“Tenang, paling cuma tikus kok.” ujar Reyna menenangkanku.
Apa? tikus? Mustahil deh! Masa rumah segede ini ada tikusnya sih? kecuali kalau rumahnya nggak terawat dan nggak berpenghuni.

Fiuh! Aku mencoba tenang lagi. dan lagi-lagi bisikan yang sama muncul di telingaku sambil diiringin suara jeritan cewek yang lagi merintih kesakitan juga suara hantaman benda-benda tumpul mendera tubuhnya bertubi-tubi.

“Aarghhh! Sakittt!”
“Bugg… bugg… bugg!”
“Argggh!”
“Tolong aku…! tolong!”
“Bugg… bugg… bugg!”
“Bunuh saja aku! Bunuh aku!”

Aku mencoba memejamkan mata sambil komat-kamit mengucap kalimat istiqfar dan tahlil berkali-kali. Sampai-sampai, saking aku ketakutan telapak tanganku dibuat basah karena keringat dingin. Dan aku mengenggam erat lengan Reyna.
“Eh, Ly. Tangan lo kok berkeringat sih? lo sakit ya?” tanya Reyna jadi kaget.
“Reyn, please deh! Gue takut.. gue tadi denger bisikan aneh dan mengerikan semenjak masuk di rumah ini. Gue mau pulang aja!”
Reyna menghela nafasnya sebentar. “Ly, please deh! Masa sih kita baru sampai disini trus tiba-tiba pulang gitu aja. Nggak enak hati tahu sama Shania.”
“Tapi, Reyn. gue takut banget!”
“Udah deh, tenangin dulu pikiran lo. Nyebut, Ly!”
Reyna cuma bisa mengelus-elus tanganku. Dan aku berusaha tenang walaupun masih ketakutan.

Sementara itu, Dika dan Azzam kembali dengan gurat rasa penuh kecurigaan.
“Eh, tahu nggak kalian? Dari tadi gue sama Dika keliling rumah Shania, nggak ada foto yang nunjukkin keluarganya Shania di sini. Gue heran deh, ini rumah Shania atau bukan sih?”
“Eh, mungkin aja Shania nyimpen foto keluarganya di suatu tempat. Udah deh, daripada mikirin tentang foto keluarga Shania mendingan mikirin si Lily tuh! Dia lagi ketakutan karena denger suara bisikan aneh.”
“Beneran Ly?” tanya Dika padaku.
Aku nggak menjawab pertanyaannya. Selain aku diam dan berusaha melupakan bisikan aneh itu sejak tadi.

“Maaf ya aku lama banget bikin suguhannya buat kalian.” Tiba-tiba Shania muncul sambil membawa baki berisi minuman es sirup merah dan kue lapis untuk kami. Dia menurunkan baki itu di atas meja dan menaruh suguhan itu satu persatu.
“Dinikmati ya suguhannya. Cuma itu yang aku punya.”
“Iya, Shania.” Reyna membalasnya dan kami bertiga berusaha tersenyum walaupun keadaan rumah Shania nggak bisa ngebuat kami bertiga senyum seutuhnya. Aku pun juga turut tersenyum, dan berusaha menghilangkan kekacauan pikiranku dengan mengambil minuman es sirup merah itu. Baru aku mau menyeruput minuman hasil bikinan Shania, tiba-tiba yang aku lihat adalah segelas darah merah segar di hadapanku. Aku semakin ketakutan dan..
Pyarrr! Gelas itu nggak sengaja aku buang ke lantai.

“Darahh! Darah!” aku berteriak-teriak sambil memandangi cairan merah yang membasahi lenganku.
“Ly, apa-apaan sih?” kata Reyna. “Ini bukan darah, tapi sirup!”
“Oh, aku ganti dengan air putih aja ya.” Kata Shania sambil bergegas ke dapur.
Sementara aku cuma bisa berdiri menjauh dari tempatku duduk tadi.
“Ly, lo kenapa? Kok lo mendadak jadi kayak gini sih?”

Kemudian, Shania datang lagi dan menyodorkan serbet untukku. Tapi..
Lagi-lagi yang aku lihat bukannya serbet bersih, justru kain kotor yang berlumuran darah.
“Stop.. stop.. stop! Gue benci semua ini. Gue benci!”
Shania memandang heran dari aku. Begitu juga dengan Dika, Azzam, dan Reyna.
“Gue mau pulang sekarang juga! Gue nggak mau dibikin gila gara-gara teror sialan ini!”
“Ly!” sahut Reyna manggil namaku dan segera menyusul aku yang udah duluan pergi ke pintu utama.

Aku mencoba buka pintu besar itu, dan.. ini aneh! Pintu itu sudah terkunci. Aku mencoba goyang-goyangin handle pintu itu sampai beberapa kali. Tapi hasilnya tetep nihil .. ( to be continue )

Rabu, 02 April 2014

Start Menu Modifier

  Blend the Windows 8 modern UI with the desktop

 Start Menu Modifier is a desktop customization software that helps moving between Windows 8's desktop and tile interface a little less jarring.

One of the biggest problems that Windows 8 faces is its steep learning curve. Start Menu Modifier helps make this learning curve a bit more manageable by overlaying the tile interface on top the desktop. What Start Menu Modifier does is shrinks the tile interface to show up on the top of the bottom of the screen, making it wider and scrollable.

While Start Menu Modifier looks seamless and works well, it doesn't offer any advantage of the stock interface. The app doesn't give you a traditional start menu, like the Pokki app, so many users will be disappointed at that. Jumping in and out of the tiled interface is something that definitely takes some getting used to but offers a better, more useful view of all your apps and live tiles.

Start Menu Modifier has some bugs that need to be worked out as well. The application itself doesn't require any installation, which is good and bad. You'll have to find the folder it's located in to get into its options. During launch, there is a .NET Framework error, which can be ignored but makes the app feel incomplete. Start Menu Modifier also didn't keep our settings after shutdown or reboot, which is a major bummer.

Still, those who want a less jarring Windows 8 experience will want to give Start Menu Modifier a try ..

Pokki Start Menu App Receives Update on Windows – Free Download



                  Pokki works on both Windows 8 and 8.1
   Pokki is one of the apps that can bring back the old functionality in Windows, coming with a Start button and a fully-working Start Menu that makes the modern operating system looks just like Windows 7.

A new version released today comes to make things even better, fixing a number of bugs found in the app and improving the overall performance on all Windows versions.

As usual, SweetLabs, the company behind the whole project, hasn’t provided us with any release notes on this particular build, but expect Pokki 0.267.1.197 to focus especially on fixing glitches and other performance issues reported in older builds.

The application continues to offer support for both Windows 8 and 8.1, so you can download Pokki even if you’ve already made the move to Microsoft’s new operating system. Both 32- and 64-bit editions of the OS are supported...

 So you can download in http://pokki.en.softonic.com/download

Hari Sial tapi bersyukur


Hari ini di sekolah Lagi ngadain acara Maulud nabi Muhammad SAW tgl 18.Januari.2014 .. tapi buat hari itu gw banget mulai dari pagi sampai menjelang malam ..
Pertama ..
  
  Pagi tadi seharus nya bangun Jam 05.00 ehh, malah gw bangun jam 06.45 dan akhir nya gw telat
Dan parah nya lagi gw lupa ngga pake sepatu tapi malah pakai sandal jepit dang w lupa ngga pakai ikat pinggang ( sabuk ) maka nya kalo gw setiap jalan celana gw slalu melorot, kedodoran … >.<

Ke dua ..

Setelah selasai acara itu gw baru keluar sekolah Paas.. Jam 12.00 lalu gw nunggu angkotan di halte, ngga jauh dari sekolah .. lalu sekian ber abad2 ( Lebay)   nunggu angkot ngga muncul2 akhir nya muncul  Juga .. Tappiiiii ….
Knapa Harus penuh ssiiihhh dan harus bareng duduk sama ibu2 PKK .. lu tau sendiri kan gi mana sifat ibu PKK, rame banget dah.. kayak pasar lagi ke bakaran, eett dah pokok nya …
 Gooooooosssipppppppp !!! mulu padahal ibu2 PKK tu cuman 2 orang rame nya bukan maen di dalem angkot .. bayangin dah kalo 10 orang bisa2  mbledak tu angkot sama suara2 cempreng nya ….

Ke tiga …

Sesampai tujuan dan turun dari angkot, gw kaya orang tuli, gw ngga bias denger apa2 gara2 tu ibu2  PKK dengan suara imut nya sampai menyumbat gendang telinga gw ..
Hancur aabbiiiiissssss … dan gw lupa ngga bawa uang kecil bwt transport selanjutnya naek Ojek .. akhir nya gw memutuskan untuk membeli beberapa buku yang harus gw beli..
Dan akhir nya uang sudah terpecah kan.. dan gw memutuskan langsung pulang saja libur dulu mampir2 ke rumah temen .. Soal nya mendung gelap banget … dan sampai Home lalu turun dari ojek ternyata Hujan langsung turun dengan lebat nya, Hp gw pun ikut2’an Hujan2’an  -_-  dan akhir nya gw basah kuyub dan Hp gw banyak aer nya . setelah gw bongkar tu Hp langsung keluar aer nya kayak kran mancur aer nya dengan banyak nya …. Dan setelah gw bersihin dalem2 nya akhir nya gw nyalahin dan apa yang terjadiiiiii …………….. Hp gw hidup !!!!!!  \(^O^)/ tapppiiiiiiiiii
  Cuman 10 detik .. lallu seterus nya ddeeaaaddd … -_-

Ke empat ….

Gw harus rela Sendirian di Home karena semua pada ke RS, Bude gw masuk RS tapi kalo gw siih sering manggil nya umi .. Jadi Umi gw penyakit nya kambuh lagi dan harus di bawah ke ruang Observasi intensif .. gw hanya bisa ber’doa dan meneteskan aer mata “ini cius lo” …  .. dari luar jendela yang membatasi ruangan itu Jadi gw tinggal di Home sendirian dan yang lebih parah nya lagi Rumah baru gw tu deket amat sama Kuburan .. Horror banget dah pokok nya, pake acara di TV horror semua .. >,< Merindiinnggg abbiiizzzz .. untung ada kucing2  gw yang slalu nemenin gw di saat susah maupun senang “ccciiaaaaa .. “ akhir nya gw memutuskan tidak tidur ampe pagi, karena kalo gw tidur pikiran gw mala kacauuu ntar mimpi nya aneh2 Jujur ya waktu pindah ke rumah baru gw tu slalu mimpi yang aneh2
Udeh dah malah bahas Horror ..
 Tapi gw tetap bersyukur dengan hari ini karena gw masih di beri  ke sempatan untuk ikut Maulud nabi Muhammad SAW.. 

Jumat, 31 Januari 2014

Just Guess The end By Yourself


Akhirnya gue nyampe. Di sebuah teritori terlarang tak tersentuh yang bakal bikin gue merinding tiap kali denger namanya. Sebuah tempat yang setahu gue, adalah tempat paling mistis dari semua tempat yang ada di seluruh penjuru sekolah. Jauh lebih parah dari sekedar atap sekolah yang penuh burung hantu, the invisible PMR’s room, tangga ketiga lantai dua, kelas bekas deket aksel, gudang kecil anak sispala, atau bercak merah di toilet XII IPA 3.

Gue Elnino, murid sebuah SMA ternama yang katanya adalah sekolah teladan di kota ini. Secara gak langsung, hal ini nyatain kalo gue adalah murid teladan. Meskipun gue belum pernah ngeliatin keteladanan gue, gini-gini gue salah satu anggota seksi khusus di OSIS/MPK sekolah dan dewan kelas yang megang peran penting.

Temen-temen gue, contoh : Dimitry, Kyle, yang awalnya cuman sekedar kenalan di kelas sering bilang, “Kirain Nino orangnya sombong loh! Kalo belajar seriuuus banget. Ngomong ke guru sopaaan banget. Giliran ngomong sama temen dikit banget! Gak nyangka begitu udah kenal deket, ternyata Nino orangnya gini!”. Apa maksudnya gue begok? Atau jangan-jangan mereka udah nyadar dimana sisi teladan gue? Atau jangan-jangan maksudnya gue begok? Gue gak ngerti maksud mereka bilang gue “gini”. Dan yang bikin gue lebih gak ngerti lagi, sekarang, gue lagi bediri tepat di depan pintu teritori terlarang super angker yang gue jelasin tadi. Sepuluh lima.

“Oke El, kita masuk!”, tiba-tiba Ares narik tangan gue. Dia juga temen gue. Meski gue sering iseng sama ni anak, dia temen gue. Lebih tepatnya, rival yang jadi temen gue. Intinya, dia temen sekaligus rival gue. Yah, biasanya juga gak gue anggap sih.
“What?! Wait! WOI!! Apa maksud lo kita masuk? Lo? Gue? Masuk? Lo tau kalo ini wilayah paling…”
“Nino, gak usah lebay deh! Ini tuh cuman kelas yang jaraknya gak nyampe 10 m dari kelas kita! Dan gue ada perlu di kelas ini.”
“Tapi lo gak perlu ajak gue segala kan! Mules nih!”, gue coba cari alasan agar gak masuk tempat berbahaya yang bau menyan itu. Gue sadar kalo gue ada di wilayah yang gak seharusnya dikunjungi manusia biasa macam gue. Dan gue gak mau cari gara-gara sama para sesepuh yang menghuni teritori super mistis ini.
“Bentaran doang kok! Cuman mo ngasih catatan! Temen gebetan gue yang minjem nih. Ntar gue traktir deh!”, gue bener-bener gak ngerti jalan pikiran Ares. Makhluk berbehel yang menurut gue datang dari planet lain ini, emang punya otak beda banget sama manusia! Ngapain coba tu anak sampe berurusan sama para sesepuh yang hidup disini? Demi apa tu anak juga sampe punya gebetan yang hidup di sepuluh lima, dan sekarang mau minjemin catatan sama makhluk halus temen gebetannya itu?
“Gue tunggu di luar aja deh! Bener deh! Mules banget…”
“Lo menc…”
“WAAAA!! JANGAN LANJUTIN! SIAPA BILANG GUE ME…”
“WAAAA!! LO YANG BILANG KAN? KALO MULES, BERARTI MENC…”
“WAAAAAAA!!! DIEM BEGOK! GUE GAK PERNAH NGOMONG KALO TIAP KALI MULES GUE PASTI ME…”
“WAAAAAAAAAAAA!!!!”
“WAAAAAAAAA!!!!”, begitulah. Kebodohan ini terus berlanjut. Gue jadi ngerasa ada dua orang gila yang berhasil kabur dari rumah sakit jiwa, terus berhasil nyamar jadi anak sekolahan.
“Fuuh! Udah diem ah! Diem! Jangan ngomong lagi!”, gue beneran gak ngerti sama ni makhluk. Dengan santainya memulai perdebatan begok dengan topik kayak gini, dan sekarang, gue disuruh diem? Nggak banget nih!
“Siapa yang lo suruh diem hah? Lo yang mulai Ares be….”, tiba-tiba, pintu sepuluh lima kebuka. Gue kaget. Diem. Beku. Berasa kayak roh gue mulai minggat dari tubuh dan badan gue mulai berasa dingin banget. Apa gue udah bikin masalah? Apa gue bikin para sesepuh marah? Gue mulai keringatan dan megangin tangan Ares erat-erat.
“Jangan bediri depan pintu dong! Gak bisa lewat nih!”, kaget! Seorang cowok tinggi dengan kantung mata hitam nyadarin gue dari kekhawatiran terhadap kemarahan para sesepuh. Dan itu bener-bener bikin gue kaget.
“E… Eh, gak bisa lewat?”
“Iya, gak bisa lewat karena ada orang bediri depan pintu.”, tu orang nyengir liatin gue yang udah pucet banget.
“G… Gga… Gak bisa tembus aja?”
“Gak mungkin kan? Manusia bisa kayak begituan!”
“Eh? Oh, manusia.”, tiba-tiba ada yang lewat di otak gue. Gue gak tau itu kecoak piaraan gue ato apa, yang pasti dia ngingetin gue akan satu hal yang bikin gue kembali tenggelam dalam lautan ketakutan. Ada ya? Manusia di tempat kayak gini.
“Apa harusnya gak ada?”, gue kaget! Lagi!
“Eh, ah, nggak. Katanya kan…”, gue geser dikit dari depan pintu.
“Ngomong apa sih? Cuma kelas biasa kok.”, dia senyum lagi, dan beranjak pergi ninggalin gue sendiri. Sedangkan gue, masih bengong natapin tu orang dari deket pintu.
“Jangan diliatin terus dong! Gue punya kaki kok, dan gue nginjek tanah.”, dia noleh lagi sambil senyum dan nginjek-nginjek semut di lantai yang dari tadi juga kayaknya terus-terusan melototin dia. Gue kaget, untuk kesekian kalinya. Ni orang kayak tahu isi pikiran gue. Bukan! Gue yakin, dia beneran bisa baca pikiran gue! Ares! Gue butuh Ares buat di introgasi. Tapi begitu sadar, Ares udah gak ada di samping gue.
“WHAT?! Mana? Dimana tuh para manusia? Kenapa gue cuman sendiri? Mana lagi tu si begok Ares? Tu anak ngilang kemana?”, gue noleh kiri-kanan-depan-belakang sambil megangin pala gue yang mulai kosong gara-gara stres. Gue mati-matian nyari si behel begok kayak gue waktu nyariin kutu kucing gue tengah malem pas mati lampu. Gue liat lagi tu cowok barusan, kali aja si Ares bareng dia dan, gak ada. Tu orang juga udah gak ada!

Bengong. Gue cuman duduk, diem, melongo di meja gue. Energi gue bener-bener udah abis nyariin si behel begok yang kabur ninggalin gue sendirian bediri dengan tampang super begok di depan sepuluh lima. Gue gak habis pikir, setelah maksa ngajakin gue ke tempat angker yang bikin perut gue super mules, tega-teganya ninggalin gue sendiri disana, dan bikin gue stres nyariin tuh anak kayak orang gila.
“Hai bro! Sendirian bro? Lagi ngapain bro?”, muncul! Zein, salah satu spesies paling langka di seluruh penjuru sekolah. Satu-satunya pasangan hom* yang ada, dan “itu”, adalah makhluk kelas gue. Sahabat gue?
“Bengong aja nih bro! Lagi mikirin siapa bro? Galau nih ceritanya bro?”, Sid ikutan nyamperin gue. Ni makhluk berdua kayaknya seneng banget manggil-manggil gue bro. Bikin gue jadi merinding kebelet pup.
“Kenapa? Masalah?”
“Eits, santai bro! Jangan emosi gitu ah! Gak baik!”, pasangan hom* gak jelas ini mulai ceramahin gue macam-macam.
“Santai bro! Kayak di pantai!”
“Gue lagi badmood, jadi plis, lo berdua minggir! Jangan cari masalah sama gue.”
“Kita-kita cuma pengen tau aja kok bro, kali bisa bantu..”
“Bantu? Oke, bisa minggir nggak? Kalian tuh ganggu pemandangan gue! Ngapain mesra-mesraan disini sih? Cari tempat lain kek! Panas gue lietnya!”
“Panas? Lo cemburu El?”, what? Kenapa ngarahnya kesana Zein begok?!
“Nino? Lo naksir gue? Seriusan?”, WHAT?! Kenapa lo ikut-ikutan begok Sid begok?!
“Woi Sid! Gak mungkin El suka sama lo! Muka lo tu jelek banget! Pake kacamata lagi. El pasti suka sama gue! Ya kan?”
“Heh! Siapa bilang Zein begok? Meskipun nama lo mirip Jen Malik, muka lo tuh standar kayak Arya Gakguna! Lagian banyak relief-nya gitu! Gak mungkin Nino bakal suka sama lo!”
“Apa maksud lo ngomong gitu hah?”, pasangan makhluk hom* langka yang di cap sebagai pasangan paling harmonis jadi pada ribut gara-gara gue ngomong ‘panas’. Oh, God, apa salah gue? Tolong seseorang, selamatin gue dari dunia hom* ini!!!
“Woi kalian berdua! Diem napa sih!”, gue usaha sekuat tenaga misahin dua orang bodoh hom* yang mulai perang mulut sambil lempar-lemparan panci ini.
“Tuh kan! El jadi marah gara-gara lo!”
“Udah! Lo jangan mulai lagi Sid!!!”, gue gak tau lagi musti gimana. Otak gue…
“Denger Sid! Diem lo!”, si begok Zein malah nyeletuk nyiram bensin ke gunung api.
“Woi Nino! Lo napa ninggalin gue gitu aja sih?!”, ya, si behel begok baru balik sekarang dan dengan santainya begitu nyampe langsung marahin gue yang lagi menerjang maut di tengah peperangan badai antara dua pasangan paling harmonis seantero sekolah.
“Hah?! Maksud lo? Nyadar woi! Yang ninggalin tuh lo! Bukan gue! Lo gak tau apa seberapa stres-nya gue lo tinggal di tempat angker kek gitu dan gue musti basah-basahan gara-gara keringatan nyariin lo sampe kutub utara? Sekarang lo malah nuduh gue ninggalin lo gitu? What’s your problem girl?”
“Gak usah sok inggris segala El, gue tau kok nilai bahasa inggris lo tuh lebih tinggi dari gue. Gue tau nilai bahasa inggris gue cuma 65. Dan lo? Cuma 67 bro! 67! Emang beda tipis, tapi gue nyadar nilai gue rendah dari lo! Ngerti dong gue gak bisa bahasa inggris! Lo gak perlu emosi marah-marah pake bahasa inggris segala gitu! Santai coy!”, nih makhluk maunya apa sih? Gue bener-bener gak ngerti. Ngapain juga si Ares behel nyebut-nyebut nilai bahasa inggris gue yang cuman dapet 67 itu? Demi apa dia nyebut-nyebut aib gue gitu?
“Bener tuh bro! Kayak gue bilang tadi, santai kayak di pantai…”
“Diem lo hom*!”, tajem! Gue yakin Ares udah bangunin singa super gede yang idup dalem diri si bocah hom* buat keluar kandang. Yah, emang, si Zein begok yang mulai nyeletuk soal santai di situasi kayak gini, tapi…
“Maksud lo apa ngehina Zein kayak gitu hah?!”
“Udah Sid, biarin aja…”
“Lo harusnya gak terima gitu aja Zein! Gue gak..”
“Udah Sid, gue gak suka lo kayak gini..”
“Lo tau gak? Lo berdua tuh spesies manusia langka super abnormal! Ngerti lo?!”, Ares makin panas maki-maki tuh pasangan hom* yang sejatinya menurut gue emang abnormal. Tapi, gila! Frontal banget!
“Res! Jaga mulut lo! Lo kenapa jadi ngalihin pembicaraan gitu sih?”, gue coba buat ngungsiin si singa setengah ngamuk yang mulai melebarkan sayap ini ke tempat yang lebih aman. Gue gak mau jadi korban pertengkaran dua spesies bodoh ini.
“Lo gak usah belain mereka segala El! Abnormal ya abnormal!”
“Woi Res! Lo gak perlu nyebut mereka abnormal segala! Lo pikir dengan lo nyebut mereka gitu lo bisa ngerubah hidup mereka jadi lebih baik? Enggak kan?!”
“Udah El, gak usah belain kita…”
“Diem lo Sid! Gue gak suka si behel begok gak berperasaan ini ngehina kalian kayak gini! Dia udah keterlaluan!”
“Makasih El, tapi, kita berdua gak apa kok. Udah biasa…”
“Lo denger gak Res?! Gara-gara lo, mereka…”
“Kok lo jadi nyalahin gue gitu sih?!”
“Kalian berdua udahan dong…”
“Jangan ribut gini dong…”
“Iya, kita…”
“DIEM BEGOK!”, gue dan Ares teriak kompakan meski gak bikin janji ato ngitung 123 dulu. Dan teriakan kami bikin dua sejoli hom* ini kaget ampe pucet. Gue harap-harap cemas karena liet muka Zein yang kayak mau nangis, dan Sid yang kayaknya juga…
“Lagi ngapain sih?”, tiba-tiba sesosok makhluk dengan kantung mata hitam yang rasanya gue pernah liat entah dimana nongol di battlefield.
“Lo?”
“Oh, gue mo nganter absen kelas kalian, tadi dititipin guru BK! Nih Zein! Lo ketua kan?!”
“Kasih Nino tuh! Dia suka sama gue.”, what?! Gak ada hubungannya begok! Pengen banget rasanya gue nonjok si ketua hom* ini.
“Kok gue?”
“Loh? Sama siapa dong? Nih!”, ni anak nanya sama siapa tapi tetep ngasih ke gue juga? Mikir apa sih?!
“Oh, makasih ya. Sori, temen gue yang satu ini emang kayak ‘gini’ orangnya, ahahahaha”, ngapain lagi Ares yang nerima tuh absen? Apa sih maksudnya nyebut gue ‘gini’? pake ketawa segala lagi.
“Ya, gue duluan ya! Lo El! Jangan bengong mulu liat gue!”, tu makhluk senyam-senyum cabut ninggalin kami.
“Kok dia tau nama gue yah?”
“Gue sering cerita soal lo ke dia..”, Ares nyoba ngejelasin.
“Maksud lo?”
“Gini deh, lo gak pernah masuk sepuluh lima kan?! Besok gue ajakin lo deh!”
“Gak usah! Ngapain juga ke tempat gak jelas kek gitu!”
“Udah, ikut aja! Gue bakal jelasin semuanya sama lo disana”
“Kenapa musti disana sih?”
“Eh, ngomong-ngomong, si hom* pada kemana sih? Kok tiba-tiba ngilang?”
“Lo jangan ganti top… Eh, iya, pada kemana ya?”
Ya, gue emang rada begok. Di saat situasi gak aman kaya gitu, gue malah gak sadar kalo Ares punya niat super licik sama gue. Dan dengan bodohnya gue masuk ke dalam perangkap si setan behel. Gue gak habis pikir, bisa-bisanya gue yang masuk SMA dengan tiga kali penyaringan ini bisa kebawa arus situasi yang sengaja di buat Ares buat manipulasi isi otak gue. Tapi besoknya, entah lupa ato amnesia, si Ares begok gak jadi ngajakin gue ke sepuluh lima.

Entah sejak kapan, gue ngerasa hidup gue berubah. Bukan lagi kehidupan penuh noda-noda ‘mistis’. Bukan lagi cerita para makhluk luar angkasa atau problema kehidupan para Archaebacteria. Rasanya jadi seperti sepotong kecil kisah cinta bodoh seonggok tulang dengan daging saus merah berlapis lembaran kulit tipis yang di sebut manusia. Si mind-reader. Si manusia kantung mata yang idungnya mancung. Gue jadi terus-terusan mikirin tuh ‘panda’. Kecuali kalo lagi pup. Gak kebayang deh, ada panda ngapung di kloset, iiuh banget!
“Laper.”

Gue melangkah sambil megangin perut. Gue laper. Menyusuri jalan setapak penuh bebatuan. Ditemani hembusan lembut angin yang begitu menyejukkan, rumput yang bergoyang, burung yang beterbangan, dan lalat yang berdatangan. Gue melangkah dengan malasnya. Ke sekolah. Yah, gak semalas jalan si afro phitecanthropus-nya Ares begok yang gak punya semangat hidup sih. Gue masih jalan kayak model kok. Gak tau kenapa, gue mendadak jadi sastrawan puitis yang filosofis tapi pengen banget masuk IPA.
“Itu namanya cinta El!”, mendadak Lizzy nyamperin gue dan nyeletuk macam-macam soal cinta. Setelah sekian lama gak ketemu. Yah, dia juga temen gue. Dari SMP. Gue klop banget sama ni anak soal gila-gilaan ato ngeledekin si Ares behel.
“Maksud lo?”
“It’s a crazy big thing called love, beb! Sesuatu yang bakal bikin lo merinding, sinting, melting, it’s one of a kind that can make you forget about the world-life.”, gue gak ngerti Lizzy ngomong apa. Gila! Inggrisnya lancar banget! Lha gue?
“Gue gak ngerti lo ngomong apa Ji, bahasa inggris gue cuma 67.”
“Lo udah gede El! Gak nyangka, baru gue tinggal beberapa minggu lo udah berkembang sejauh ini. Lo emang anak gue yang paling hebat!”, Lizzy meluk gue. Nepuk-nepuk pundak gue. Gue beneran gak ngerti dia mikir apa.
“Nih!”, Lizzy ngasih secarik kertas lusuh ke gue. Isinya angka-angkaan gitu. Apa dia ngajakin gue belajar matematika bareng?
“Apa nih?”
“Itu nomor si mata item.”
“Loh? Kok…”
“Gue tau semuanya El.”, puk! puk! Lizzy menepuk. Dia nepuk-nepuk pundak gue lagi dan jalan ninggalin gue sambil nyengir kuda. Sesuatu yang kayaknya kecoak piaraan gue lagi-lagi lewat di otak dan ngingetin gue sesuatu, kalo Lizzy, adalah salah satu makhluk dunia lain sepuluh lima. Makhluk yang selalu ribut soal portal dan andromeda.
“El!”, Lizzy manggil gue lagi dan ngelirik ke kanan gue sambil tetep nyengir. Dia seolah bilang kalo ada sesuatu yang mendekat ke arah gue. Gue diem. Gue merinding.
“El…”
“WAAAAAAAA!!!”, gue kabur. Lari dengan kecepatan super yang lebih super dari manusia super. Gue gak tau alien mana yang baru aja manggil nama gue. Gue terlalu takut buat noleh ke belakang. Gue gak mau kalo sampe di sentuh makhluk asing luar angkasa yang namanya ‘alien’ itu. Bisa-bisa gue yang gak pinter-pinter amat ini jadi makin begok. Lebih begok dari si hom* begok. Lebih begok dari si behel begok.
When you know that you…

Lagi belajar geografi. Gue mulai nyoret-nyoret meja sambil sesekali liatin guru ngomong. Belagak belajar padahal sebenarnya gak belajar. Yak, tolong jangan tiru gue karena apa? Karena selain ngerusak fasilitas sekolah, nilai geografi lo bakal selalu selalu paling jelek setelah nilai fisika dan kimia. Intinya, jangan tiru gue.
“Lo galau El?”, Kyle. Si cantik mata besar yang duduk sebelah gue tiba-tiba negur.
“HAH?!”
“Lo gak suka sama Ares kan?”
“Maksud lo apaan ngomong gitu?! Gue normal coy! Normal! Gue cewek! Gue demennya cowok! Bukan cewek! Gue normal Kyle! Gue gak hom* kayak sahabat gue!”
“Jangan bawa-bawa gue dong!”, Zein yang duduk depan gue noleh dengan tampang super bikin prihatin. Gue jadi merasa bersalah sama dia.
“Sori Jen.. Gue gak maksud..”
“Gak pa pa kok…”, di balik noleh ke depan lagi. Dengan gerakan super cepat kayak siput. Gue turut berduka cita sama idup lo, Zein..
“Kepikiran makhluk sepuluh lima yang nganter absen kemaren?”, Dimitry dateng nyamperin gue.
“Kok…”
“Pelajaran udah kelar dari tadi kok!”, si begok Ares ikutan dateng nyamperin gue.
“Kepikiran ya?”
“Nggak kok Kyle..”, gue mulai beresin barang-barang gue biar bisa cepet-cepet pulang. Gue berdiri dan mulai jalan ninggalin tiga makhluk aneh yang lagi asik koar-koar ngomongin kisah idup gue.
“Ngapain juga mikirin makhluk dari wilayah yang keberadaannya antara ada dan tiada itu!”
“Puitis banget El!”
“Ciee… Nino lagi jatuh cinta ya??”
“Hah?!”
“Aduh El, sayang, begok. Ini tuh namanya cinta nak.. Mau gue mintain nomernya ke gebetan gue?”
“Jangan bikin bulu idung gue ketawa Ares begok! Gue gak butuh!”, Ya, gue gak butuh nomernya. Karena gue punya, begok! Pengen banget rasanya ngomong gitu. Tapi gue gak berani. Si behel begok pasti bakal ngeledekin gue habis-habisan.
08.00 pm. Gue kenyang dan mulai nyiapin buku pelajaran buat besok. Sesuatu yang kayaknya kecoak piaraan gue yang hobi lewat di otak gue buat ngingetin sesuatu dateng lagi. Gak apa dong, kalo gue kirim sms buat sekedar nyapa…
Zzzrrt…zrrt…

Si makhluk sepuluh lima yang nganter absen ke kelas gue dan ngaku-ngaku sebagai manusia itu ngebales sms gue. Gak nyangka! Padahal gue gak make trik si Ares begok yang sok-sokan nanyain pr pake nama gue tapi sengaja ngirim ke gebetannya si afro yang gak punya semangat hidup ituh. Gue pake cara normal dan super jujur. Yah, setidaknya, berkat itu, kita ngomongin banyak hal. Mulai dari skandal boyband anak-anak cowok dikelasnya, sampai cerita soal makhluk bego berbehel kenalan gue yang punya gebetan di sepuluh lima. Dan sejak itu, gue mulai dekat sama si mata item. Meskipun gak ngomong banyak secara langsung dan cuma sapa-sapa-an sesekali, kita bisa di bilang cukup rukun. Lumayan lama. Dan gue sangat menikmatinya. Sampai suatu hari, gue gak lagi deket sama tuh manusia.
“Jadi, gimana perkembangan lo sama si mata item?”, Franky, si unyil kribo yang juga mantan temen SMP gue datang menghampiri. Gue cuman senyum, gak tau musti ngomong gimana. Lagian, gue sama si panda cuman ‘kenalan’. Gak lebih. Dan udah cukup lama juga gue gak chatting ato sms-an ama tuh anak. Gak tau deh, dia masih idup ato nggak.
“Lo tau dari mana Ki?”
“Ampun deh! Gue selalu merhatiin lo El! Kenapa sih sekarang jauhan? Kalian berantem?”
“Nggak kok.”
“Lo suka sama dia kan? Dia tau loh! Gue yang bilang sih. Udah lama juga. Kalo gak salah, sejak lo pertama kali dateng ke kelas gue bareng Ares, walopun lo gak jadi masuk. Keliatan banget dari tampang begok lo waktu lagi natapin dia. Gue juga sering liat lo jadi salting tiap ketemu dia. So confusing gituh. Antara mau nyapa ato nggak. Jadi gimana? Lo masih suka sama dia?”, Lizzy dateng sambil ngomong panjang lebar.
“Nggak kok. Dari awal juga, gue cuman sekedar suka liat mukanya aja kok. Unik. Ups! Yah, walopun sempet melenceng dikit ke jalur aneh yang bikin jantung gue ngilu nyut-nyut ato deg-deg.”, gue nyoba ngejelasin dan bikin duo gossip ini yakin.
“Sekarang, lo jauhan sama dia kan? Rasanya gimana?”, Kyle dateng bareng Dimitry.
“Sepi ya? Gue liat loh! Lemes banget idup lo kayaknya. Lebih lemes dari gebetan gue, si afro-pithecanthropus yang gak punya semangat hidup. Lo kayak gak bernyawa El!”, si Ares begok nongol dari belakang gue sambil ceramah kayak ustad.
“Gak pa pa ko El, cerita aja ama kita”, akhirnya, Dimitry yang udah dateng dari tadi dapet giliran ngomong juga. Mereka mulai ngomong bergantian. Semacam maksa gue buat cerita sambil sesekali ngasih saran tapi ngeledekin gue. Gue cuma diem.
Ibaratkan awan, ceritanya, gue yang manusia biasa-biasa aja ini lagi nyantai kayak di pantai ngadem-ayem sambil melototin langit DPR. “Dibawah pohon rindang”. Tiba-tiba, gue liat awan item nyasar di langit DPR yang cerah. Gue samperin tuh awan. Gue sapa.
“Lo nyasar?”, si awan kaget gue samperin.
“I..Iyah…”, jawab si awan gemetar.
“Lo takut sama gue? Lo dateng dari mana?”, gue mulai ngintrogasi si awan.
“Nggak kok. Gue dari Andromeda. Kaget aja, liat manusia bisa terbang kayak lo..”, gue baru nyadar kalo gue lagi terbang. Asik juga. Gue ngajakin si awan keliling langit.
“Gue anter pulang deh!”, si awan ngangguk terima tawaran gue.
Gak kerasa, kita udah jadi temen akrab. Dua makhluk yang sibuk terbang kesana-kemari. Tapi, gue yang kayaknya keenakan terbang, gak tahu, kalo si awan ketinggalan nyangkut di ranting pohon. Gue gak tau kalo gue udah kehilangan si awan.

“Nino, lo remedi geografi kan?! Buruan tuh! Udah mulai!”, Dimitry ingetin gue tentang suatu hal yang menurut gue adalah akibat dari perbuatan busuk gue yang belagak belajar padahal gak belajar waktu jam pelajaran geografi. Malu banget gue!

Sekarang, gue udah sampe di akhir semester. Hampir setahun gue ngerasain gimana rasanya kehidupan miris seorang manusia mistis yang selalu mules kalo abis makan kismis terus diajakin ke tempat mistis. Gue berhasil lolos dari perjuangan hebat mempertaruhkan jiwa dan raga dalam perang ujian semester dua. Meskipun akhirnya banyak yang remedial juga. Kayak geografi yang tadi itu tuh! Tapi semua udah gue beresin ampe tuntas. Gue ngalamin banyak hal. Macem-macem. Tragedi badai empek-empek, perjalanan spiritual keliling sekolah tengah malem, main ke pustaka, liat-liat fosil purba, bahkan jadi semacam paparazi yang ngikutin perjalanan guru sejarah, Buk Megan yang hidup nomaden. Satu yang masih gak tuntas, gue masih belum sapa-sapa-an lagi ama si mata item.
“Mau sampe kapan lo kayak gini terus El?”, Ares dateng bawa dua gelas cappucino. Yak, kita lagi nongkrong di kantin.
“Hah?”
“Mau sampe kapan lo diem-dieman sama si mata item?”
“Gue sibuk Res! Musti ngurus ini itu. Gak sempet mikir yang begituan! Gak tau deh! Lagian, gue udah lupa tuh gimana mukanya! Lama banget gak ketemu. Berasa udah sekitar dua-tigapuluh tahun gitu kali ya?”
“Yah, sayang banget!”, Ares mangut. Alisnya ngerut. Dia natapin gue kayak melototin hantu jeruk purut.
“Padahal, menurut gue kalian cocok banget loh! Mirip! Dan biasanya, kalo mirip itu jodoh! Beneran deh!”
“Hah?! Lo ngomong apaan sih Res?”
“Iya, sayang banget. Padahal, kali aja beneran jodoh kan…”, ada orang lain yang masuk zona pembicaraan mistis gue sama si begok Ares.
“Maksud lo?”, gue noleh ke belakang. Dan yang gue liet, adalah manusia yang gue temuin di depan pintu gerbang sebuah teritori terlarang tak tersentuh super mistis dan paling angker seantero sekolah. Makhluk ngaku-ngaku sebagai manusia ke gue sambil nginjekin semut. Ya, si manusia mata item sepuluh lima yang chattingan-nya udah lama gak nongol di hape gue.
“Jangan pasang tampang kaget kayak gitu dong! Lo jadi keliatan lebih begok dari si Ares yang udah kelewat begok ini..”
“Gue maafin, gue maafin…”, Ares senyam-senyum liatin gue.
“Kok… Lo…”, gue bingung berat sampe gak tau musti ngomong apaan. Jarang-jarang Ares gak bales bilang ‘begok’ setelah dikatain ‘begok’. Dan gue gak ngerti. Setelah sekian lama gue diem-dieman ama si mata item, tiba-tiba dia nongol di depan gue, dan ngomong lancar banget ke gue.
“Udah masuk tuh! Balik ke kelas barengan yuk!”
“Eh?”
“Lo kenapa El? Kita sekelas sama dia kan?”
“Bener banget Res! Gue satu kelas sama kalian, XI IPA 3, bener gak? Gila! Kelas XII ntar kita bakal nyampe di salah satu tempat mistis yang punya toilet cat merah tuh!”, si mata item ngomong panjang lebar super lancar sama gue.
“A…aa…”
“Lo kenapa bengong gitu sih? Anemia?”
“Amnesia item begok!”
“Yah, maksud gue ituh. Lo kenapa El? Gitu banget liatin gue…”, si mata item natap gue dengan tatapan super curiga. Gue gak tau kenapa. Gue speechless. Otak gue gak bisa ngasih perintah buat ngeluarin rangkaian kata-kata dari mulut. Gue gak tau musti ngomong apa.
“Res!”, gebetan Ares, si afro-pitecan yang gak punya semangat hidup senyum sambil melambai dari lapangan basket ke arah kita.
“Oke, oke! Berhenti tatap-tatapan! Kita ke kelas!”, Ares ninggalin gue yang masih duduk bengong di meja kantin dan lari-lari ngejar si afro. Si kecoak piaraan gue dapet giliran muncul lagi. Sejak kapan gue jadi temen sekelas si mata item? Dia makhluk sepuluh lima, dan gue sepuluh enam. Kenapa sekarang udah di sebelas ipa tiga? Mimpi apa gueee…?
“Lo gak mimpi kok! Yuk, buruan! Gue gak mau telat dan ngasih kesan pertama yang buruk sama wali kelas baru kita gara-gara nungguin lo yang kelamaan mikir.”, dia narik tangan gue dan mulai nyeret-nyeret gue menuju kelas. Gue bener-bener gak bisa mikir lagi. Otak gue yang gak sepenuhnya kosong tiba-tiba jadi kosong melompong. Rusak! Gue rusak!!
“El…”, si manusia mata item tiba-tiba berhenti nyeret gue. Sambil ngos-ngos-an, dia bantuin gue berdiri. Dan mulai ngatur napas yang kayaknya sesak banget. Gue berat juga ya?
“El!”, gue kaget. Gue natap manusia ngos-ngos-an yang keringatan abis lari-larian sambil nyeret gue itu.
“Ya?”
“Lo nggak inget?”
“Inget apa?”
“Nggak inget yah?”
“Inget apa?”
“Tuh kan, gak inget!”, tuh manusia masuk duluan ke kelas ninggalin gue. Gue cuman diem dengan mulut ter-nganga karena gak ngerti sama apa sesuatu yang harus gue inget yang dia maksud. Terlalu banyak hal-hal gak jelas yang musti di proses otak gue yang gak gede-gede amat ini. Makanya, gue jadi lama banget kalo mikir.
“Buruan masuk!”, si manusia mata item nongol lagi dan narik gue buat masuk kelas.
“Waaaa!! Long time no see beb!”, Lizzy nyamperin gue. Bukannya dia masuk IPS ya?
“Gyaaaaa!!! Lama banget sih! Dari mana aja lo?!”, si unyil kribo, Franky, dateng dan langsung goncang-gongang badan kayak ngocokin tip-ek sambil nepuk-nepuk pundak gue.
“Duh, kanget banget gue ama lo Nino begok!”, Ares juga dateng nyamperin gue bareng Kyle dan Dimitry.
“Loh bro? Lo udah baikan? Udah sehat nih? Dah bisa ngangkat barbel?”, Zein juga dateng nyamperin gue. Bareng Sid tentunya. Gue gak tau apa yang gue lupain dan sejauh mana gue lupa soal hal itu. Gue gak tau maksud si mata item soal sesuatu yang gue gak ‘inget’. Apa si Ares udah nyuci otak gue? Dimana memori gueeeee???