Pages

Senin, 21 April 2014

Cinta ?

 Cinta.. Menurut kalian semua apa sih arti cinta ??
Cinta .. Cinta .. emang kamu udah pernah ngerasahin nya ?!
Sekarang gue tanya lebih besar mana Cinta ibu kamu apa Cinta gebetan kamu!

  ya yang jelas cinta ibu lu lah dia yang dari kecil menggendong lu, menyusui lu, nyekolain lu dan ngebesarin lu..
apa gebetan lu pernah gendong lu ?! apa gebetan lu pernah nyusuin lu ?! *Sensor Jangan berkhayal yang aneh - aneh -_-
apa gebetan lu pernah nyekolain lu ?!

 tapi kalo gue boleh kasih saran sih.. Ya boleh mencintai orang lain kecuali cowo sama cowo.. *absurd -_- kalo bisa cari yang setia jangan yang hanya bisa nge gombal doang, yang bisa nge jagahin perasaan lu, yang ngerti'in lu daann jangan pernah sampai lupa cinta sama ibu kalian karena dia lah yang membesarkan kita dan cinta ibu lebih besar dari gebetan kalian .. *ciiee motivator :D

So .. 
 kalo ngomongin sekolah ngga ngomongin cinta sama aja bo'ong betul kaga ! ..


                         
                                 Maap ngambil dari film ^_^

 Cinta Sejati itu ngga usah di tuntut yang macem - macem ya segitu - gitu nya aja, ngga perlu di otak - atik..
ngga usah juga di tandai yang macem - macem kaya kalung ato cincin yang di kasih tanggal Jadian..

  Cinta yang baik akan selalu mendatangkan  Kasih Sayang, Ketenangan, Perlindungan dan Kenyamanan ..
 So .. Jangan pernah bilang Cinta kalo belum ngerasahin nyaman saat di dekat nya.

Jika Sudah saling menyakiti, apa masih Di sebut Cinta ??

*pesan gue : Seribu kata Cinta tak sebanding dengan satu kali saja pembuktian Cinta..

Sabtu, 19 April 2014

Ghost of Shania part 2 ( end )


“Kita harus cepet-cepet pergi dari rumah ini! Rumah ini berhantu!”
“Ly..” potong Reyna yang nggak pernah percaya sama omonganku.
“TURUTIN GUE KENAPA SIEEHHH!”
Akhirnya mereka mau nurutin perkataanku dan ngebantu aku buat buka pintu yang sudah terkunci ini, hingga akhirnya Azzam nyelentuk dengan bijaknya.
“Mending kita lewat pintu belakang rumah aja, Ly. Tadi gue sama sama Dika sempet nemuin pintu belakang rumah Shania yang masih terbuka.”
“Azzam benar!” Dika tambah meyakinkanku. Dalam keadaan kacau seperti ini, aku juga ikut sejutu karena nggak ada pilihan lain lagi untuk keluar dari rumah hantu ini. Kecuali lewat pintu belakang rumah.

Kemudian kami segera berbalik badan dan mencari jalan keluar ruangan lain. Tiba-tiba.. sosok cewek berwajah menyeramkan dengan mukanya yang dipenuhi luka memar juga berlumuran darah itu berdiri di depan kami berempat. Yang lebih mengerikan lagi, sosok hantu itu berdiri dengan jarak yang begitu dekat dengan kami semua. Alhasil kami menjerit dengan kompak.
“Aaaaa…aaa!”

“Kalian nggak akan bisa pergi kemana-mana!” ancam hantu itu. “Kalian harus mati bersamaku disini!”
“Aaaa…aaaa!”
“Kaa…abbuurrr!” jerit Dika mengisyaratkan kami cepet-cepet kabur. Kami langsung berhamburan kemana-mana. Tapi.. kemana pun kami berusaha kabur, hantu itu tetap aja mengikuti kami dan berdiri di depan kami secara tak terduga.
“Aaaaa…aaa!”

Ruangan rumah Shania gelap banget dan menyulitkan aku untuk mencari jalan keluar bersama temen-temen segengku. Hingga akhirnya, aku terpisah dari mereka bertiga.
“Reyna! Dika! Azzam! Dimana lo semua! Gue takut!” teriakku sesaat di sebuah lorong kecil. Suaraku kedengerannya menggema dari tempat ini. Aku semakin mundur dan aku bingung mau keluar lewat mana.
“Gue mau pulang! Gue mau pulang! Jangan terorin gue terus!”
Hiks.. hiks.. hiks! aku jadi nangis sendirian.
Sesaat.. aku kayak menginjak sesuatu yang empuk di kakiku.
“Apaan ini?!” ujarku sesekali dengan nada terisak.
“Ly…” suara misterius memanggil namaku lagi, dengan nada yang begitu lirih karena kesakitan. “Tolong aku Ly, aku disini. Di bawah kakimu..”
Lantas aku memberanikan diri menunduk ke bawah kakiku. Dan menoleh ke belakang saat kulihat seonggok mayat tergeletak penuh darah di lantai.
“Aaaaaa! Ma.. ma… mayattt!”

Gubrak! Suara hantaman pintu terbuka untukku. Cahaya dari dalam itu terlihat redup dan terdengar desir angin yang mempermainkan rambutku. Aku berjalan dengan nafas terengah-engah. Dengan desah nafas yang nggak karuan juga keringat dingin yang bercucuran keluar, aku masuk ke dalam ruangan kecil itu.
Gubrakk! Pintu itu tiba-tiba menutup sendiri.
“Buka!” aku mengedor-ngedor pintu itu dengan keras dan mengoyang-goyangkan handle pintu itu yang udah karatan. “Dika! Reyna! Azzam! Tolongin gue! Tolongin gue!”

Hiks… hiks… hiks…! aku lagi-lagi menangis dan ngerasa putus asa akibat jebakan rumah hantu ini. Disaat aku nyaris putus asa, hantu cewek itu selalu muncul di hadapanku dan mukanya kelihatan serem banget.
“Aaaaa…aaa!” aku menjerit dengan histerianya.
“Pergi! Jangan ganggu gue!”
“Lily, jangan takut.” Kata hantu itu menyentuh tungkai kakiku. “Aku nggak akan nyakitin kamu dan teman-temanmu.”
“Dan, bukan maksud aku buat nakut-nakutin kalian.”
Aku diam dan mengusap air mataku sekejap. “Trus, kalau kamu nggak nakut-nakutin aku kenapa kamu neror aku?!” aku bersandar di pintu dan menghindar jauh dari tatapan mata hantu itu. Walau aku tahu, ternyata hantu itu adalah Shania yang aku kenal beberapa hari lalu.
“Aku ingin minta tolong sama kamu. Dan aku janji, setelah ini aku nggak akan ngangguin kalian lagi.”
Aku menghela nafas sebentar. Dan dengan ragu-ragu aku jawab, “Mi.. minta tolong buat apa?”
“Keluarkan aku dari tempat ini, Ly. Aku nggak bisa istirahat dengan tenang kalau belum ada orang yang mau ngeluarin aku dari sini.”
Aku terhenyak dan menekuk dua kakiku.

“Sebenarnya, bukan kamu aja yang pertama aku datangin. Ada banyak warga desa ini yang sering aku datangin, terutama eyangmu. Tapi.. mereka malah ketakutan dan mengusir aku, Ly.”
“Aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi kalau bukan sama kamu dan yang lain.”
Kedengerannya, pengakuan Shania rada miris dan menyedihkan banget. Bagaiamana orang lain mau nolongin dia, kalau wujudnya nyeremin begini? tapi, kalau cuma aku dan temen-temen yang bisa nolongin dia, aku harus melakukannya apapun itu. Asalkan kami nggak diganggu lagi dan bisa hidup dengan tenang.

Aku kemudian mendekat dan memberanikan diri untuk menyentuh bahu Shania yang dingin membeku itu. Kutangkap sorot matanya yang sayu dan menyembunyikan kesedihan yang amat berat untuk diungkapkan padaku.
“Shan,” panggilku. “Hmm, sorry ya. Kalau boleh tanya, apa yang membuat kamu mati dalam keadaan seperti ini?”
Ia menoleh dengan cepat tanda merespon pertanyaanku.
“Ceritanya udah lama, Ly. Sejak delapan tahun yang lalu.”
Lantas aku mendekat dan menyimak ceritanya. Begini ceritanya..

Dulu, kira-kira waktu aku kelas lima SD aku pernah denger kasus tentang hilangnya seorang mahasiswi yang belum bisa diketemukan hingga sekarang. Dan, mahasiswi yang hilang itu adalah Shania sendiri. Ceritanya bermula saat Shania pulang kuliah, dia dibekap oleh empat orang cewek yang seusia dengannya. Mereka menculik Shania dan menyembunyikannya di rumah ini, tepatnya di dalam gudang tempatku berada. Shania disekap selama satu minggu dan dia mengalami penyiksaan secara bertubi-tubi oleh mereka.

Asal punya usul, ternyata salah satu cewek yang menyiksa Shania adalah temen sekampusnya sendiri. Dan dia adalah mantan pacar Bram. Pacar Shania. Dia menyiksa Shania karena nggak bisa menerima kematian Bram akibat kecelakaan mobil bersama Shania. Bram meninggal, sedangkan Shania selamat. Dan itu membuat mantan pacar Bram menyimpan api dendam sama Shania. Sebenarnya, Shania pernah mencoba kabur. Tapi dia keburu kepergok orang-orang jahat itu. Akhirnya.. sebagai hukuman fisik buat Shania, mereka menjatuhkan batu semen yang beratnya beberapa kilo ke tubuh Shania berkali-kali hingga tewas.

Hiks… hiks… hiks…! nggak terasa aku meneteskan air mataku saat denger cerita menyedihkan dari Shania. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi, selain aku ngebayangin bagaimana rasanya Shania mengalami hal-hal kejam itu yang mendera tubuhnya secara berubi-tubi. Pasti menyakitkan banget kalau aku ada di posisi Shania.

“Shan,” isakku kemudian. Aku rada sesegukan sambil lanjut bicara, “Jujur, kalau aku jadi kamu dan aku meninggal. Aku ingin nyambangin mereka semua dan melampiasakan dendamku karena mereka udah menghancurkan hidupku dengan cara tragis kayak gini.”
Shania menggeleng dan dia mengulas senyum manisnya lagi. sesaat, aku nggak melihat wajahnya yang dipenuhi luka memar itu. Tapi.. wajahnya terlihat indah dan bercahaya saat senyum padaku.
“Enggak, Ly. Buat apa aku harus melakukan hal itu cuma ingin melampiasakan dendamku sama mereka. Biar Tuhan yang menghukum mereka, karena DIA-lah yang berhak melakukan-NYA. Yang aku inginkan tak lain adalah, aku ingin istirahat dengan tenang dan melihat ibuku bahagia.”
Hiks.. hiks… hiks… aku lagi-lagi menangis saat denger ucapan penuh sendu haru Shania. Bagaiamana tidak? Dia mengalami siksaan yang pedih tapi dia mau memaafkan empat orang yang udah nghancurin hidupnya itu. Apalagi sampai memikirkan keadaan nyokapnya. Oh tuhan! Kusentuh bahu Shania lagi, dan dia masih tersenyum padaku.
“Trus gimana aku bisa keluarin kamu dari sini, Shan?”
“Pergilah ke belakang rumah ini. Disana ada pohon asem dengan batu besar yang ada di dekatnya. Galilah tanah di bawah batu besar itu, temukan juga jasadku disana dan kuburkanlah aku dengan layak.”

“Lily!” panggil Reyna menemukan aku tengah terduduk diambang pintu gudang.
Aku berdiri dan kupeluk Reyna dengan erat. “Lo kemana aja? Gue, Dika sama Azzam sampai kelimpungan nyariin elo. Ternyata elo malah enak-enakan duduk di sini.
“Gu.. gue…” aku menoleh ke arah Shania, Dang!
Aku terperanjat, saat Shania menghilang begitu aja.

“Kita harus bantuin Shania, Reyn! Kita harus bantuin Shania keluar dari tempat ini!”
Mereka kompak melongo dan saling bertatapan mata. Nggak ngerti apa yang aku bicarakan.
“Heh, Ly! Shania tuh hantu. Udah deh, mending kita keluar aja dari tempat ini. Lagian elo juga ingin pulang kan dari tadi?”
“Iya, Reyn! Gue tahu, Shania memang hantu. Tapi dia butuh pertolongan sama kita!”
“Ly!” panggil Reyna menyusulku. “Ih, tuh anak kenapa sih?! tadi minta pulang, sekarang malah minta bantuin Shania! Ashh, plin plan amat sih tuh anak!” gerutu Reyna dengan terpaksa menyusulku pergi ke suatu tempat.

“Ly, tungguin kita dong!”
Aku nggak gubris mereka. Justru aku mencari pohon asem yang disebutkan oleh Shania tadi dan batu besar yang ada di dekatnya. Dan.. memang bener! Ada pohon asem lengkap dengan batu besar disitu. Aku buru-buru pergi kesana, tapi si Reyna, Azzam dan Dika masih berdiri disana nggak tahu mau ngapain. Aku mendekati batu itu dan melihat ada sedikit ukiran kasar di permukaannya. Meski semua ukiran itu tertutupi oleh tumbuhan lumut. Lantas, aku menyingkirkan lumut itu hingga aku mendapati ukiran yang bertulisan jelas. ‘SHANIA WIJAYANTI’
Ya! Itu pasti kuburannya Shania. Dan jasad Shania terkubur selama delapan tahun di bawah batu ini.

“Temen-temen! Gue nemuin sesuatu disini! Cepetan kesini!”
Lantas, kudengar suara kaki mereka menginjak daun-daun kering itu dan menghampiriku.
“Gue yakin, di sini pasti ada jasad Shania. Kita harus ngeluarin jasad Shania dari sini!”
“Darimana lo tahu, Ly?”
“Shh! Ceritanya panjang, yang terpenting kita harus bisa ngeluarin jasad Shania. Kalau urusannya udah kelar, baru aku ceritain semuanya tentang Shania tadi.”

Saat kami berusaha menyingkirkan batu besar itu, tiba-tiba ada yang orang yang nyelentuk dari kejauhan sana.
“Eh, ngapain kalian disitu?” tanya seorang bapak-bapak pembawa cangkul di pundaknya.
“Ini pak, kami mau menyingkirkan batu besar ini. Kami akan menggali tanah disini dan ngeluarin jasad seseorang dari sini.”
“Hhh? Jasad? Nggak ada orang mati disitu! Adanya disana tuh!” ujar bapak-bapak itu dengan cepat menunjukkan kami pada kuburan yang letaknya dibalik rimbunan pohon bambu di sebrang sana. Samar-samar aku bisa melihat beberapa batu nisan yang berjejeran tak teratur. Itu memang kuburan, yang letaknya terpisah dengan rumah Shania.
“Pak, iya saya tahu! Tapi ada jasad yang udah lama terkubur di sini. Boleh saya pinjam cangkul bapak buat menggali tanah ini?”

Sekilas, bapak-bapak itu cuma menggeleng kepala antara percaya dan nggak percaya dengan omonganku. Dia akhirnya menghampiri kami dan meyerahkan cangkulnya pada Dika. Dia mulai menggali tanah secara bergantian bersama Azzam dan bapak itu.

“Nduk! Kamu darimana aja?” tanya eyang ketika menemukan kami berempat di rumah kosong dan masih sibuk menggali tanah. “Tahu ndak, enyang sama pak RT juga para warga sekitar geger nyariin kamu! Enyang kirain kamu sama temen-temenmu ilang digondhol demit!”
“Hhh? Digondhol setan? Siapa bilang?” tanyaku hampir nggak percaya. Kenapa eyang dengan mudah percaya tentang tahayul kayak begituan. “Yang, maafin Lily kalau kami bikin khawatir eyang. Lily sama kawan-kawan lagi menggali tanah disini.”
“Lho, buat apa tho nduk?”
“Gini.. Yang, Lily yakin disini ada tempat mahasiswi yang hilang sejak delapan tahun yang lalu. Dia sudah meningal, dan jasadnya terkubur disini.”
“Apakah kamu yakin disini tempat mahasiswi yang hilang itu, nak?” tanya pak RT kemudian.
“Iya Pak, saya yakin. makanya saya dan temen-temen coba menggali tanah ini,”
“Ya sudah, kalau memang kamu tahu tentang mahasiswi itu. Tunjukkan pada kami dan kami akan segera bawa kasus ini kepihak yang berwajib!”

Akhirnya pak RT menghimbau beberapa warganya turut serta menggali tanah itu. Tanahnya cukup dalam dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akhirnya..
“Aaaaa!” tiba-tiba Dika menjerit spontan saat melihat beberapa kerangka manusia yang teronggok di gundukan tanah itu.
Ya! Itu pasti kerangka Shania yang sudah selama bertahun-tahun terkubur disitu tanpa ada yang mengetahuinya kecuali aku. Beberapa warga turun ke dalam galian tanah lebar itu bersama Azzam dan mengumpulkan kerangka Shania di tempat seadanya. Untuk divisum ke rumah sakit.

Akhirnya, semua kasus Shania hampir menemukan titik terang tentang siapa yang telah menjadi pelaku menyiksaan dan pembunuhan sadis mahasiswi itu. Aku mulai kebanjiran panggilan ke kantor polisi karena aku sebagai saksi. Sedangkan jasad Shania udah dimakamkan di kampung halamannya di Jogja sekitar beberapa hari yang lalu.

Sekarang, tiba saatnya aku dan ketiga teman-temanku berpamitan pulang pada enyang. Ya, liburanku disini sudah cukup puas. Kami berempat harus balik ke kota asal kami buat mempersiapkan kuliah. Walaupun sebenarnya aku masih betah berlama-lama disini. Dan masuk kuliahnya pun juga masih lama, seminggu lagi.

“Yang, Lily dan kawan-kawan pamit pulang ya.” Ucapku kemudian sambil mencium punggung tangan keriput eyangku.
“Iya, duk. Hati-hati di jalan ya, dan sampaikan salam enyang pada ayah ibumu di Solo.”
“Iya, Yang. Lily bakal sampaikan salam eyang ke mama papa kok. jaga diri baik-baik ya, Yang.” Kemudian, eyang memelukku dan mencium dahiku dengan lembut. Akhirnya, kami berempat meninggalkan rumah eyang dan berjalan beberapa langkah ke arah pertigaan jalan.

“Lily!” tiba-tiba ada suara orang yang manggil namaku. Dan itu, suara Shania.
Kami berempat langsung berbalik saat lihat Shania menghampiri aku.
“Hmm, Lily. Makasih banget ya, kamu mau bantuin aku. Kalau bukan kamu, mungkin aku nggak akan bisa istirahat dengan tenang sekarang.” Ucap Shania mengenggam tanganku.
“Iya kok, Shan. Sama-sama. Lagian, udah jadi kewajiban kita buat nolongin sesama makhluk yang lagi butuhin sesuatu.” Aku tersenyum pada Shania.
Shania memelukku dengan erat. “Hati-hati di jalan ya.”
Dia lantas melepas pelukannya di tubuhku dan tampak melepas kalung emas yang melingkari leher jenjangnya.
“Sebelum kamu pulang, aku mau ngasih kenang-kenangan ini buat kamu. Meski itu cuma kalung emas yang pernah kupakai saat aku hidup, benda itu sebagai tanda kamu pernah berteman sama aku dan sebagai tanda balas budiku karena kamu mau nolongin aku.”
“Ambil ya, Ly. Dan kenanglah aku lewat kalung yang kamu pakai itu.” Kata Shania sambil menyelipkan kalungnya di telapak tanganku.
“Makasih ya, Shan.” Aku memeluknya sekali lagi. “Melalui kamu, aku bisa mendapatkan kenangan yang nggak pernah kubayangkan dan nggak pernah kurasakan sebelumnya. Apalagi tentang pengalaman menakutkan ini.”
Kami jadi terkikik. Dan.. ini lagi deh, si Dika mulai nyerobot-nyerobot. Tanda efek play boy nya mulai mencuat keluar.
“Shania.” Panggil Dika dengan suara sok imut dan romantis.
“Iya,” respon Shania dengan suara lemah lembut.
“Boleh aku minta kenang-kenangannya dari kamu?”
“Boleh kok, emangnya Dika mau minta kenangan apa dari Shania?”
“Cium aku dong,” kata Dika menunjukkan pipinya yang rada kasar campur mulus itu.
“Wooo…ooo!” kami langsung menyoraki Dika denga meriah.
“Hoeekkkk! Amit-amit deh cewek secantik Shania mau nyium nyamuk jingklong segedhe Dika!” celentuk Azzam.
“Diem lu!”
“Oh, boleh kok. Dika,” ucap Shania masih senyum. Spontan, Dika jadi heboh sendiri. Dan siap-siap dengan pipinya yang dideketin di depan muka cantik Shania.
Cupp! Satu ciuman maut mendarat di pipinya dengan sukses. Alhasil Dika jadi terhuyung-huyung karena mau pingsan.
“Aduh, mak! Dika dapet ciuman dari hantu cantik nih. duhh, jadi klepek-klepek dahh! Mantapp!”
“Hmm, ya udah. Kami pulang dulu ya, Shan.” Kataku akhirnya menutup obrolan kecil kami. Sementara Azzam dan Reyna lagi repot membopong tubuh Dika yang lagi dimabuk kasmaran.

“Dahh!” aku dan melambaikan tanganku ke arah Shania sebentar dan kususul mereka yang berjalan ke pinggir jalan raya.
Sementara itu… Shania lekas berbalik badan dan menampakkan wujudnya yang mengenaskan. Dia berjalan ke arah kebun pak Usman. Semakin jauh ia melangkah pergi, dan akhirnya dia menghilang tanpa jejak .. (end )

Kamis, 17 April 2014

HTS ( Hubungan Tanpa Status )

 Ok kali ini gue akan Membahas sedikit tentang HTS.
HTS, Hubungan tanpa status atau lebih populer lagi TTM, "Teman Tapi Mesra".
TTM sangat berkembang dalam di pergaulan anak remaja zaman sekarang, yang nanti nya gue prediksi bakal populer juga yaitu TTTM, " Teman Tapi Tidak Mesra".

 Untuk menghindari dari pihak - pihak tertentu untuk tau, di perlukan poin - poin Sebagai berikut :
  • Pertama Jaga Jarak mu ! Jangan sampai terlihat terlalu memberikan harapan yang lebih.
  • Ke dua sebisa mungkin membawa kendaraan sendiri - sendiri, karena kamu tidak akan tau yang akan terjadi.
  • Ke tiga itu poin yang paling nggak enak, tapi ngga bisa di hindari dalam HTS.. Berbohong !
So !!
awasi pacar - pacar kalian .. :) buat yang Jomblo sabar aja deh! Jomblo itu adalah kebahagian yang tertunda aja ..
So ! was the hope and always keep smiling :)

Rabu, 16 April 2014

Ghost of Shania part 1


“Dik, mana jambunya?!” teriakku lantang mendangak ke arah pohon jambu itu. Di salah satu dahannya si Dika berusaha memetik satu persatu jambu dan menjatuhkannya ke arah kami.
“Iya.. iya, bentar!” sahutnya kemudian.

Pukk! Pukk! Pukk!
Satu persatu jambu hasil petikan Dika saling berjatuhan. Aku, Reyna, dan Azzam memungutinya dan mengumpulkan ke kantong plastik berukuran besar. Tapi.. ada jambu yang menggelinding jauh dan berhenti tepat di tungkai kaki seseorang. Aku berhenti dan diam di tempat sambil kupandangi kaki misterius itu sampai ke atas.
“Ini jambu kalian?” tanya seorang cewek padaku.
Aku diam lagi saat kulihat wajahnya sangat cantik. Kecantikannya itu melebihi aku dan membuat aku iri banget lihatnya. Kulitnya putih mulus bak porselein, wajahnya rada kayak cewek-cewek korea gitu deh! apalagi rambutnya yang bergelombang indah berwarna coklat gelap.
“I… ya, makasih ya.” Ucapku mengambil jambu dari tangannya.
“Oh iya, boleh aku gabung sama kalian?”

Aku sebenarnya rada terhenyak mendengar kata-katanya. Rasanya agak aneh aja cewek secantik bidadari kayak dia gabung sama geng aku. Apalagi kalau sudah ketemu sama si Dika. Ugh! Pasti dia nggak bakal berhenti nggegebetin cewek ini.

“Eh, Ly! Kamu ngomong sama siapa?” mereka bertiga langsung menghampiri kami berdua.
“Wow! Ada temen baru nih!”
“Yoi, cantik lagi!”
Tuh kan, si Dika mulai lagi dengan gombalannya yang super duper playboy.
“Aku Shania, boleh aku gabung sama kalian?”
Kami saling bertatapan mata. Ada yang mengangguk setuju, kecuali aku yang masih kelihatan ragu. “Udah Ly, biarin aja dia mau gabung sama kita. Lagipula dengan begini kita bisa nambah temen baru. Iya nggak?”
Azzam dan Dika saling mengangguk setuju saat Reyna menerima Shania gabung di geng kita.

“Eh, mbak namanya tadi siapa? Kenalin.. aku Dika. Andika Putra Lesmana.” Sontak Dika menyerobot kami bertiga sambil mengulurkan tangannya.
“Nama saya Shania.” Jawab Shania lagi dengan tutur kata lembut dan sopan. Hingga membuat Dika jadi klepek-klepek nggak berdaya.
“Oh my gosh! Nama yang cantik, secantik orangnya.”
Shania jadi tersipu malu dan dia hanya tersenyum kecil hingga membuat rona pipinya yang putih mulus itu jadi merah merona.
“Wooo…ooo!” kami pun saling menyoraki Dika yang udah keterlaluan playboy.
“Eh, jangan macem-macem ya! Inget Pramesti tuh!”
“Iya… iya! lagian aku juga masih setia kok sama dia.” Sungut Dika rada kesal.
“Ya udah deh, kalau begitu kita makan jambu bareng-bareng yuk!” unjuk Dika dengan nada bijak. Lantas, kami berlima duduk di bawah pohon jambu besar di kebun milik pak Usman dan menikmati jambu hasil buruan kami beramai-ramai.


“Reyn, anterin gue pipis dong. Gue takut nih!” bisikku sambil membangunkan Reyna. Kulihat dengan samar-samar lampu pijar eyangku yang redup itu. Suasananya sangat sepi karena semua orang lagi tidur.
“Duh, gue ngantuk banget nih. Ke kamar mandi sendiri aja ya, Ly.”
Aku sedikit mendesah. Kebiasaan deh kalau Reyna itu susah banget dibangunin.

Akhirnya dengan terpaksa aku bangun sendirian dan pergi ke kamar mandi. Aku membuka pintu besar itu dan di samping kananku ada ruang besar yang digunakan untuk ruang makan keluarga eyang. Dan..
Sekelebat aku ngerasa ada yang orang yang melintas di balik gorden jendela. Cepet banget menghilangnya. Aku berusaha tenang, mungkin ini cuma halusiku aja yang suka mikir macem-macem. Maklum, akhir-akhir ini aku suka banget nonton film horor. Aku berjalan mengarah ke samping kiriku, tempat dimana ada pintu lagi yang akan mengantarkan aku ke kamar mandi. Lagi-lagi.. aku merasa ada yang melintas di belakangku. Dan sontak aja aku menoleh ke belakang.
“Siapa itu? Eyang? Reyn? Dika?” aku manggil nama-nama orang yang ada di rumah ini. Tapi nggak ada jawaban, buru-buru deh aku ngacir ke kamar mandi dan nggak peduli apa yang tadi melintas di belakangku. Beberapa menit kemudian aku keluar kamar mandi. Dan akan masuk ke dalam rumah. Karena kamar mandi dan dapur eyangku letaknya terpisah dari ruangan-ruangan lain. Letaknya pun di belakang rumah.
Saat itu, samar-samar aku melihat ada sosok misterius yang sedang berdiri di dapur gelap eyangku. Tepatnya di depan pintu kecil yang menghubungkan dapur dengan kandang ayam. Wujudnya nggak terlalu kelihatan jelas. Tapi aku bisa menerka sosok itu cewek. Ia memandangi aku sebentar, hingga aku cepat-cepat masuk dan menutup pintu. aku menyeruak di antara selimut tebalku dan berusaha menghilangkan tentang sosok cewek tadi.

“Duh, jujur Reyn! Gue tuh semalam lihat penampakan gitu di dapur eyang. Gue takut banget!”
“Udah deh, Ly. Makanya jangan kebanyakan nonton film horor. Jadi kayak gitu deh akibatnya!” kata Reyna sambil ngomel-ngomel dan dia lagi asyik ngemil klanting (makanan khas daerah eyangku) kami berdua duduk di pagar tembok mengarah ke kebun eyang dan dikejauhan sana ada kebun pak Usman. Aku cuma diam, dan ngaku kalau aku yang salah. Tapi bisa nggak sih Reyna percaya sama aku sedikit aja kalau itu memang bener-bener kenyataan?

Saat Reyna menyingkir dari hadapanku untuk menghampiri Azzam yang lagi asyik internetan di atas dipan kayu, aku melihat sosok cewek itu dari balik pohon-pohon rambutan disana. Dia lagi-lagi menatap aku, hingga akhirnya aku berdiri untuk manggil Reyna.
“Reyn, i…ii.. ituu! ii..tu cewek yang gue lihat kemarin malem!”
“Mana sih? orang nggak ada apa-apa kok!” ketus Reyna kelihatannya rada jengkel mendengar aku suka mikir yang macem-macem. Apalagi tentang hantu.
“Eh, Ly! Mau kemana?” tanya Reyna manggil aku.

Aku nggak ngegubris dia sama sekali. Aku keluar dan menghampiri pohon rambutan tempat dimana aku lihat ada penampakan cewek tadi. Saat aku ada di dekat pohon itu, ternyata nggak ada apa-apa. Justru secara mendadak aku ngerasa ada yang menepuk bahuku.
“Aaaaa!” aku menjerit.
“Lily?” ternyata suara itu berasal dari Shania. “Kamu ngapain disini?” tanya Shania padaku.
“Eng… eng.. enggak kok. aku Cuma.. ya cuma lihat-lihat aja, sambil menikmati udara pagi yang masih segar ini.”
“Oh,”
“Kalau kamu, Shania?” aku balik tanya sama dia.
“Sama kok, aku juga lagi jalan-jalan terus ketemu sama kamu deh.”
“Kamu nggak kerja atau kuliah?”
Shania menggeleng dengan cepat. Sambil berkata, “Kuliahku lagi libur.”
“Kita jalan-jalan bareng yuk!”
“Oh, boleh-boleh. Kalau aku ajak temen-temenku gimana? Kamu nggak keberatan kan?”
“Tentu.” Ucap Shania dengan senyumnya yang begitu hangat.

Akhirnya, aku manggil ketiga temanku untuk ikut jalan-jalanku dengan Shania. Hari ini kami akan keliling desa eyangku. Mungkin ke empang atau ke pinggir sawah atau kalau enggak berburu jambu mete dan buah asem kali ya.

“Gila ya! Tuh cewek secantik Shania masa tinggal sendirian sih di rumah besar itu?” ujar si Azzam sambil membuka obrolan kecil kami saat perjalanan pulang ke rumah eyang. Kami lagi asyik menyusuri jalanan kecil dengan samping kiri kami rumah warga yang dipagari oleh semak-semak belukar dan samping kanan kami kebun yang sebagian besar ditanami pohon kelapa dan singkong.
“Iya sih, gue takutnya dia diperk*sa sama maling..”
Hus! Reyna dengan cepat memotong ucapan Dika yang belum selesai itu.
“Elo tuh ngaco banget sih kalo ngomong.”
“Iya tuh, ngomongin yang enggak-enggak. Tentang Shania lagi.” imbuh Azzam membela omongan Reyna.
“Gue kan cuma mengkhawatirkan Shania, bro!” sengak Dika lagi.
“Mengkhawatirkan sih boleh aja, tapi nggak gitu-gitu amat kalee!”
“Assh, kalian ini pada ngomongin apaan sih?!” ucapku dari tadi ngerasa aneh selama perjalan pulang kami. “Kalian ngerasa ada yang ngikutin kita di belakang nggak?”
“Tuh, mulai lagi deh ngehayalnya!” semprot Reyna lagi-lagi protes.
“Ah udah deh! Daripada ngomongin Shania apalagi nggubris tentang khayalan tingkat tinggi si Lily, mending buruan deh jalannya. Udah mau maghrib nih! Keburu gelap tahu!”

Kata Azzam menyudahi argumen konyol kami. Akhirnya kami mempercepat langkah kaki yang masih berdiri di pertigaan jalan setapak ini. karena jalanan di depan rumah eyang hampir gelap. Cuma dipancari sebuah lampu pijar di pinggir jalan. Itu pun jauh dari tempat kami melangkah. Dan beruntung banget, karena rumah eyang tinggal beberapa langkah lagi. jadi kami bisa sampai disana sebelum azan maghrib berkumandang dan hari senja telah benar-benar gelap.

Hari ini, kami bertiga punya kesempatan buat mampir ke rumah Shania. Maklum mumpung kami belum kembali ke Solo. Dan menikmati liburan kuliah kami yang masih tersisa banyak. Kami menembus tumbuhan ilalang yang tumbuh melintang di sekitar rumah besar Shania.

Rumah Shania terletak di belakang kebun pak Usman dan itu pun kami harus melintasi lahan persawahan yang luasnya berhektar-hektar. Duh, sumpah deh! kalau dipikir-pikir rumah Shania tuh beda banget sama rumah-rumah lain. Rumah Shania letaknya sangat sulit dijangkau oleh sebagian besar warga desa. Letaknya sangat tertutup oleh rimbunan pohon bambu dan rumput ilalang yang sudah memanjang. Hingga menutupi pandangan rumah itu. Ditambah letak bangunan besar itu di atas lahan kosong dan agak berdekatan dengan kuburan. Hii…! serem amat ya. Tapi yang bikin aku heran, kenapa Shania berani amat tinggal sendirian di tempat ini.

“Hai, teman-teman.” Sapa Shania pada kami bertiga yang tengah memasuki ruangan tengah rumahnya. “Selamat datang di rumahku ya, anggap aja rumah ini kayak rumah kalian.”
“Eh.. iya.. iya, Shan. Betewe, rumahmu gedhe banget ya! Tapi, sayang banget kalo…”
“Ssst!” senggol Reyna pada Dika. Aku dan Azzam cuma bisa geleng kepala saat lihat tingkah konyol mereka berdua.
“Ah, Dika bisa aja deh.” Lagi-lagi Shania cuma bisa menyungging senyum karena malu si Dika habis-habisan memujinya. Menurutku itu bukan kata pujian, tapi lebih ke sindiran.

Kemudian, Shania segera mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu.
“Sebentar ya, Shania pergi ke dapur dulu. Bikin suguhan buat kalian semua.”
“Oke deh, Shania.” Ucap Azzam kemudian.
“Eh.. Reyn – Ly, gue sama Dika keliling rumah Shania sebentar ya!” tungkas Azzam pada Reyna.
“Iya.. iya, tapi jangan lama-lama ya!” balas Reyna.
Kulihat Azzam dan Dika segera cabut dari tempat kami yag sedang duduk manis di sofa.

“Lily… tolong aku, Ly…” tiba-tiba aku mendengar suara bisikan aneh di telingaku. Dan ngerasa ada desir angin di dekatku. “Keluarkan aku dari sini…” bisikan itu terus menghantui aku sejak aku masuk di rumah ini. Aku berusaha tenang dan melihat-lihat seisi rumah Shania sambil melupakan bisikan aneh tadi.

Kulihat atap-atap rumah Shania seperti sudah sangat kusam dan hampir dimakan usia. Apalagi kipas hias itu juga hampir mau copot karena bergoyang-goyang diterpa angin.

Gubrakk! Terdengar suara benda jatuh yang nyaris membuat kami kaget.
“Tenang, paling cuma tikus kok.” ujar Reyna menenangkanku.
Apa? tikus? Mustahil deh! Masa rumah segede ini ada tikusnya sih? kecuali kalau rumahnya nggak terawat dan nggak berpenghuni.

Fiuh! Aku mencoba tenang lagi. dan lagi-lagi bisikan yang sama muncul di telingaku sambil diiringin suara jeritan cewek yang lagi merintih kesakitan juga suara hantaman benda-benda tumpul mendera tubuhnya bertubi-tubi.

“Aarghhh! Sakittt!”
“Bugg… bugg… bugg!”
“Argggh!”
“Tolong aku…! tolong!”
“Bugg… bugg… bugg!”
“Bunuh saja aku! Bunuh aku!”

Aku mencoba memejamkan mata sambil komat-kamit mengucap kalimat istiqfar dan tahlil berkali-kali. Sampai-sampai, saking aku ketakutan telapak tanganku dibuat basah karena keringat dingin. Dan aku mengenggam erat lengan Reyna.
“Eh, Ly. Tangan lo kok berkeringat sih? lo sakit ya?” tanya Reyna jadi kaget.
“Reyn, please deh! Gue takut.. gue tadi denger bisikan aneh dan mengerikan semenjak masuk di rumah ini. Gue mau pulang aja!”
Reyna menghela nafasnya sebentar. “Ly, please deh! Masa sih kita baru sampai disini trus tiba-tiba pulang gitu aja. Nggak enak hati tahu sama Shania.”
“Tapi, Reyn. gue takut banget!”
“Udah deh, tenangin dulu pikiran lo. Nyebut, Ly!”
Reyna cuma bisa mengelus-elus tanganku. Dan aku berusaha tenang walaupun masih ketakutan.

Sementara itu, Dika dan Azzam kembali dengan gurat rasa penuh kecurigaan.
“Eh, tahu nggak kalian? Dari tadi gue sama Dika keliling rumah Shania, nggak ada foto yang nunjukkin keluarganya Shania di sini. Gue heran deh, ini rumah Shania atau bukan sih?”
“Eh, mungkin aja Shania nyimpen foto keluarganya di suatu tempat. Udah deh, daripada mikirin tentang foto keluarga Shania mendingan mikirin si Lily tuh! Dia lagi ketakutan karena denger suara bisikan aneh.”
“Beneran Ly?” tanya Dika padaku.
Aku nggak menjawab pertanyaannya. Selain aku diam dan berusaha melupakan bisikan aneh itu sejak tadi.

“Maaf ya aku lama banget bikin suguhannya buat kalian.” Tiba-tiba Shania muncul sambil membawa baki berisi minuman es sirup merah dan kue lapis untuk kami. Dia menurunkan baki itu di atas meja dan menaruh suguhan itu satu persatu.
“Dinikmati ya suguhannya. Cuma itu yang aku punya.”
“Iya, Shania.” Reyna membalasnya dan kami bertiga berusaha tersenyum walaupun keadaan rumah Shania nggak bisa ngebuat kami bertiga senyum seutuhnya. Aku pun juga turut tersenyum, dan berusaha menghilangkan kekacauan pikiranku dengan mengambil minuman es sirup merah itu. Baru aku mau menyeruput minuman hasil bikinan Shania, tiba-tiba yang aku lihat adalah segelas darah merah segar di hadapanku. Aku semakin ketakutan dan..
Pyarrr! Gelas itu nggak sengaja aku buang ke lantai.

“Darahh! Darah!” aku berteriak-teriak sambil memandangi cairan merah yang membasahi lenganku.
“Ly, apa-apaan sih?” kata Reyna. “Ini bukan darah, tapi sirup!”
“Oh, aku ganti dengan air putih aja ya.” Kata Shania sambil bergegas ke dapur.
Sementara aku cuma bisa berdiri menjauh dari tempatku duduk tadi.
“Ly, lo kenapa? Kok lo mendadak jadi kayak gini sih?”

Kemudian, Shania datang lagi dan menyodorkan serbet untukku. Tapi..
Lagi-lagi yang aku lihat bukannya serbet bersih, justru kain kotor yang berlumuran darah.
“Stop.. stop.. stop! Gue benci semua ini. Gue benci!”
Shania memandang heran dari aku. Begitu juga dengan Dika, Azzam, dan Reyna.
“Gue mau pulang sekarang juga! Gue nggak mau dibikin gila gara-gara teror sialan ini!”
“Ly!” sahut Reyna manggil namaku dan segera menyusul aku yang udah duluan pergi ke pintu utama.

Aku mencoba buka pintu besar itu, dan.. ini aneh! Pintu itu sudah terkunci. Aku mencoba goyang-goyangin handle pintu itu sampai beberapa kali. Tapi hasilnya tetep nihil .. ( to be continue )

Rabu, 02 April 2014

Start Menu Modifier

  Blend the Windows 8 modern UI with the desktop

 Start Menu Modifier is a desktop customization software that helps moving between Windows 8's desktop and tile interface a little less jarring.

One of the biggest problems that Windows 8 faces is its steep learning curve. Start Menu Modifier helps make this learning curve a bit more manageable by overlaying the tile interface on top the desktop. What Start Menu Modifier does is shrinks the tile interface to show up on the top of the bottom of the screen, making it wider and scrollable.

While Start Menu Modifier looks seamless and works well, it doesn't offer any advantage of the stock interface. The app doesn't give you a traditional start menu, like the Pokki app, so many users will be disappointed at that. Jumping in and out of the tiled interface is something that definitely takes some getting used to but offers a better, more useful view of all your apps and live tiles.

Start Menu Modifier has some bugs that need to be worked out as well. The application itself doesn't require any installation, which is good and bad. You'll have to find the folder it's located in to get into its options. During launch, there is a .NET Framework error, which can be ignored but makes the app feel incomplete. Start Menu Modifier also didn't keep our settings after shutdown or reboot, which is a major bummer.

Still, those who want a less jarring Windows 8 experience will want to give Start Menu Modifier a try ..

Pokki Start Menu App Receives Update on Windows – Free Download



                  Pokki works on both Windows 8 and 8.1
   Pokki is one of the apps that can bring back the old functionality in Windows, coming with a Start button and a fully-working Start Menu that makes the modern operating system looks just like Windows 7.

A new version released today comes to make things even better, fixing a number of bugs found in the app and improving the overall performance on all Windows versions.

As usual, SweetLabs, the company behind the whole project, hasn’t provided us with any release notes on this particular build, but expect Pokki 0.267.1.197 to focus especially on fixing glitches and other performance issues reported in older builds.

The application continues to offer support for both Windows 8 and 8.1, so you can download Pokki even if you’ve already made the move to Microsoft’s new operating system. Both 32- and 64-bit editions of the OS are supported...

 So you can download in http://pokki.en.softonic.com/download