Tahun pertama
Aku disini. Duduk di
bawah batang pohon bunga Sakura dengan mahkota bunganya yang berwarna putih.
Terbayang wajahmu, yang sekarang entah dimana.
Angin musim semi
berhembus. Membuat ranting-ranting pohon itu bergoyang. Hanya hembusan pelan,
tapi beberapa kelopak bunga Sakura terlepas dari rantingnya. Melayang-layang,
sebelum akhirnya jatuh tepat di pangkuanku. Musim semi yang sama dengan tahun
lalu. Tapi terasa berbeda tanpa adanya kau.
Teringat musim semi
terakhir yang kita rayakan bersama. Disini. Di bawah pohon bunga Sakura ini.
Dengan perasaan bahagia, merayakan hari kelulusan kita berdua.
Satu tahun berlalu,
tapi aku masih ingat betul kejadian malam itu. Ditengah perasaan suka cita, kau
bilang padaku akan pergi ke tempat yang jauh.
Bahkan aku masih
mengingat angin musim semi yang berhembus kala itu. Hening setelah kau berkata
tadi. Hening yang tidak pernah muncul sejak kita berdua menjadi sepasang
sahabat. Ingin sekali aku menangis dan berkata apapun untuk mencegahmu pergi.
Tapi aku tidak bisa. Itu pilihanmu.
“Aku akan menemuimu
lagi, tepat saat masih ada bunga Sakura warna putih di pohon ini.” Kau
menghapus butiran bening yang terlanjur berguguran dari mataku. Saat itu aku
hanya bisa mengangguk.
“Ashita ne.” Kau dan
aku. Kita mengucapkan itu sebagai salam perpisahan. Meski aku tidak tau, besok
seperti apa yang akan mempertemukan kita.
Tahun kedua.
“Pesawat kertas itu
akan terbang jauh. Membelah cakrawala. Membawa serta mimpi kita yang tertulis
disana,” katamu.
Musim semi kesekian
yang kita habiskan sebagai sepasang sahabat. Kita sedang duduk bersama di bawah
pohon bunga Sakura putih ini. Pertengahan musim semi. Bunga-bunga Sakura sedang
tumbuh subur menyelimuti pohon yang selama tiga musim lainnya selalu meranggas.
Memandang lembah yang jauh dari atas bukit, tempat pohon Sakura ini tumbuh.
Masih teringat
ucapanmu, saat kita baru saja menerbangkan masing-masing satu pesawat kertas.
Kau bilang, semua mimpi yang kutulis disana akan terkabul.
Dan di dunia ini,
aku hanya punya satu mimpi. ‘Aku ingin berada di sampingmu Selamanya.’
Tapi tidak seperti
katamu tadi, angin musim semi tidak mengabulkan permintaanku.
Tahun kedua. Dan kau
belum juga kembali.
Tahun ketiga.
Bunga-bunga Sakura
bermekaran, lalu gugur. Persis seperti anganku untuk bertemu denganmu yang
mekar di awal April, lalu rontok berguguran di akhir bulan. Habis tak tersisa
bersamaan dengan Sakura putih yang terus menerus rontok tak berhenti. Kini
bunga-bunga itu hanya meninggalkan sebatang pohon kering. Pohon itu harus
menunggu tiga musim lagi untuk dapat mekar. Bersamaan dengan mekarnya harapku
untukmu.
Sekali lagi, berada
di tempat ini membuatku kembali teringat denganmu. Saat pertemuan pertama kita.
Kau ingat?
Awal musim semi.
Bunga-bunga sudah mulai bermekaran di seluruh Jepang, tapi tidak dengan bunga
Sakura. Masih beberapa minggu lagi untuk pohon itu memekarkan bunga-bunganya
yang indah.
Pertemuan pertama
kita 10 tahun yang lalu. Musim semi pertamaku di kota indah ini, Nagano.
Aku berjalan riang
menuju sebuah toko serba ada. Membawa daftar panjang belanjaan di tangan kanan,
dan beberapa lembar uang Yen di tangan kiri. Kuncir dua rambut sepinggangku
melambai. Dipermainkan angin.
Hari pertama
kepindahanku ke kota ini, Nagano. Sebuah perfektur yang dilindungi ratusan
gunung kekar dengan pemandangannya yang indah.
Ayah, ibu, dan aku,
saat itu kami baru saja selesai menurunkan seluruh kardus barang-barang dari
atas truk.
Kepindahan yang
memlelahkan. Tadotsu—Nagano, lintas pulau Shikoku—Honsu. Masih banyak yang
harus dilakukan, tapi matahari sudah harus tenggelam. Belum lagi ada beberapa
benda yang harus dibeli. Dan saat itulah aku menawarkan diri untuk berbelanja.
Awalnya ayah dan ibu
sangsi, melihatku yang hendak berbelanja seorang diri. Tapi demi melihat
kesungguhanku, maka berangkatlah aku yang kala itu masih berusia 10 tahun.
Seorang diri menuju sebuah toko yang telah ditunjukan ibu sebelumnya.
Belanja ternyata
mudah, itulah yang ada dipikiranku saat hampir semua barang dicatatan sudah
berpindah ke dalam keranjang belanjaan. Bagaimana tidak? Aku hanya perlu
mengambil barang yang ada didaftar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang.
Setelah itu, beres!
Di catatan
belanjaanku hanya tinggal satu barang lagi, sebungkus roti gandum.
Aha, itu dia, aku
memekik dalam hati saat melihat barang terakhir itu tersandar disalah satu rak
toko. Tinggal satu bungkus.
Saat itulah aku
pertama kali melihat mata abu-abumu. Tapi sayang, tidak dengan situasi yang
menyenangkan.
Kau pasti selalu
tertawa jika kita mengingat kejadian ini.
Kita berdua berebut
roti gandum terakhir tadi.
Akhirnya setelah
paman pemilik toko itu turun tangan, Akulah yang berhak mendapat roti gandum
terakhir.
Kau merengut. Kesal.
Pipi bulatmu terlihat sangat menggemaskan kala itu.
Aku tersenyum. Puas.
Saat berjalan riang
keluar dari toko serba ada itu, aku baru menyadari sebuah masalah.
CELAKA!!! Aku lupa
jalan pulang!!
Aku sudah melupakan
kantung belanjaan saat itu. Menangis tersedu di bawah temaram lampu jalan
trotoar yang menghiasi malam.
Dan disaat itulah
kau muncul.
Angin musim semi
mempermainkan rambut cokelat tuamu. Lensa mata kelabumu terlihat berkilat-kilat
diterpa temaram lampu jalan. Ah, bahkan saat berusia 10 tahun saja kau sudah
tampak mempesona.
Sempat aku berfikir,
kau akan meledekku yang sedang menangis ini. Atau paling tidak kau berpura-pura
tidak melihatku. Karena bagaimanapun akibat akulah kau tidak mendapatkan roti
gandum terakhir tadi.
Tapi tidak. Kau
malah berjongkok di sampingku. Bertanya mengapa aku menangis. Dan disaat aku
menceritakan masalahku, kau berbaik hati menemaniku menghabiskan malam.
Berjanji mengantarku
pulang — nanti — saat matahari sudah muncul.
Duduk di bawah pohon
Sakura berkelopak putih yang saat itu bunganya belum bermekaran.
Pertemuan pertama
kita. Aku tidak pernah menduga, ternyata setelah itu masih banyak
pertemuan-pertemuan kita yang lainnya.
Tahun keempat
Aku ingin menjadi
sesuatu yang berharga dalam hidupmu.
“Aku ingin seperti
bunga Sakura,” ucapmu padakku.
Saat itu entah sudah
musim semi keberapa yang kita habiskan bersama. Usia kita sama-sama 15 tahun.
Dengan pohon bunga Sakura putih itu yang masih setia menemani persahabatan
kita.
Aku menoleh,
bingung. “Mengapa? Bukankah jika kita seperti bunga Sakura, hidup kita tidak
akan bertahan lama?”
Saat itulah kau
tersenyum. Sebuah taring kanan atasmu yang sedikit maju terlihat. Gingsul
membuat senyumu semakin manis. “Memang.”
“Lalu, mengapa kau
masih ingin menjadi seperti bunga Sakura?”
“Karena kau tau?
Meski bunga Sakura hanya berumur pendek tapi kehidupannya benar-benar
berharga.” Sekelopak bunga Sakura mendarat tepat di atas pangkuanmu. Kau
memungutnya, lalu menunjukannya padaku. “Lihat! Bunga ini memang kecil, tapi
harga pelajaran yang diberikannya itu sangatlah besar.”
Aku ikut
memperhatikan bunga yang kau pungut itu.
“Seperti katamu
tadi, bunga Sakura memang hanya berumur pendek. Tapi dibalik itu semua Tuhan
menciptakan bunga kecil indah ini berumur pendek bukan tanpa alasan. Dibalik
kelopaknya yang kecil nan rapuh dan hidupnya yang singkat, dia mengingatkan
kita tentang hidup yang hanya sebentar.”
Aku memandangmu.
Takjub.
“Selain itu, bunga
ini juga mengajarkan kita kesabaran. Kau tau berapa lama bunga Sakura mekar
sebelum akhirnya gugur?” aku mengangguk untuk pertanyaan itu. “Tidak lebih lama
dari satu bulan. Sedangkan dia menunggu untuk dapat mekar selama lebih dari tiga
musim.”
Sekelopak bunga
Sakura gugur diatas pangkuanku.
Aku ingin menjadi
sesuatu yang berharga dalam hidupmu.
Dan saat itulah aku
memutuskan untuk menjadi bunga Sakuramu.
Tahun kelima
Ah… tidak terasa
sudah lima tahun aku menghabiskan musim semi disini tanpa dirimu.
Sekelopak bunga
Sakura dengan mahkota warna putih terlepas dari ranting pohon yang menaunginya.
Angin musim semi yang membuat kelopak bunga rapuh itu terjatuh. Angin yang sama
yang membelai rambut sebahu milikku saat ini, yang membuatku semakin teringat dengamu.
Ah ya, aku teringat
saat hari kelulsan. Siang di hari yang sama dengan malam perpisahan yang
menyakitkan itu.
Kau duduk di bangku
taman halaman sekolah. Menatap hiruk pikuk teman-teman yang saling mengucapkan
salam perpisahan. Awal April. Baru sedikit kelopak bunga Sakura yang mekar Aku
menghampirimu.
Kita duduk
bersisian. Angin musim semi membelai rambut pirangku. Seakan berbisik, inilah
waktu yang tepat. Aku akan mengungkapkan perasaan ini padamu.
Ya, karena aku
mencintaimu, sahabatku.
Oke, ini memang
terdengar klise. Persahabatan yang kemudian berubah menjadi cinta. Jika mereka
memiliki perasaan yang sama, maka jadilah sepasang kekasih. Tapi biasanya
cerita cinta seperti ini tidak akan berlangsung lama. Salah satu dari mereka
pasti akan menyadari lebih baik menjadi sahabat daripada kekasih. Atau jika
salah satu dari mereka tidak memiliki perasaan yang sama, maka hancurlah
persahabatan itu.
Tapi peduli setan
dengan itu semua! Aku tetap akan menyatakan perasaanku.
“Nanti malam. Pukul
tujuh. Seperti biasa.” Kau bicara mendahuluiku.
Aku kembali menelan
ucapanku yang hampir termuntahkan keluar.
Nanti malam. Pukul
tujuh. Seperti biasa, aku tau persis maksud kalimatmu ini. Kau memintaku datang
pukul tujuh malam ini, di bawah pohon bunga Sakura putih itu.
Lalu kau berdiri,
tersenyum, sebelum meninggalkanku. Beberapa orang gadis baru saja memanggilmu
untuk berfoto bersama.
Memintamu. Bukan
memintaku. Padahal mereka sama-sama teman sekelas kita.
Ya… kau sahabatku,
pemuda popular dan tampan. Tidak seperti aku gadis kuper dan kutu buku.
Angin musim semi
berhembus. Menerbangkan potongan-potongan kalimat yang barusaha hendak aku
muntahkan di hadapanmu.
Tidak kali ini.
Mungkin nanti malam.
Tahun keenam
Sejujurnya aku tidak
tau persis, kapan perasaan seperti ini pertama kali muncul. Yang jelas musim
semi satu tahun sebelum kelulusan, saat para gadis pemujamu itu datang
berbondong-bondong menggerubungi kita. Aku yang sedang duduk di taman
bersamamu, harus terusir karena kerumunan gadis-gadis itu.
Saat itulah perasaan
aneh muncul. Perasaan aneh yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh seseorang
yang memiliki IQ 150 sepertiku. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan
logika. Bahkan perasaan itu tidak ada dalam rumus di buku Fisika atau
Matematika manapun. Percampuran perasaan marah, kesal, iri.
Marah. Aku marah,
karena mereka mengusirku bergitu saja.
Kesal. Entah kenapa
hati kecilku seakan berkata, kau milikku dan bukan mereka!
Iri. Tapi di waktu
yang sama aku juga sadar. Mereka jauh lebih cantik dan popular dariku. Dan
pastinya kau yang tampan akan lebih memilih mereka dibanding aku yang kutu buku
ini.
Tapi aku salah.
Keesokan harinya.
Bunga Sakura warna putih mekar di atas bukit tempat kita menghabiskan waktu
bersama. Sepanjang petemuan kita sore itu, kau terus bercerita tentang
ketidaksukaanmu pada gadis-gadis itu. Kau bilang benci jika harus berada dekat
dengan para gadis.
“Apakah kau juga
benci berada di dekatku?” Kau menoleh. Seakan baru sadar, aku sebagai
sahabatmu, yang saat ini duduk bersebelahan dengan kau, juga adalah seorang
gadis.
“Tidak.” Kau diam
sesaat. Tapi kalimatmu selanjutnya seakan menjadi pintu gerbangku menuju
perasaan itu. “Karena kau special.”
Tahun ketujuh
Ah… sekali lagi aku
hanya bisa menghela nafas.
Awal musim semi
tahun ketujuh tanpamu. Aku disini, di bawah pohon Sakura dengan daun yang
tumbuh rimbun, tanpa bunganya yang berwarna putih. Masih beberapa hari lagi
untuk bunga-bunga putih itu bermekaran.
Kau tau? Musim semi
menumbuhkan dua buah perasaan yang bertolak belakang di hatiku. Senang,
sekaligus takut.
Aku senang. Jelas.
Karena disaat bunga-bunga Sakura itu bermekaran, disaat itu pulalah bunga
anganku untu bertemu denganmu juga mekar.
Tapi aku juga takut.
Takut sekali jika ternyata perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan. Perasaan
cinta ini, hanya aku yang merasakannya.
Aku takut. Selama
tujuh tahun menunggumu disini, hanya hampa yang menyapaku saat kau kembali.
Hampa karena saat itu aku tau, kau tak lagi bisa kugapai. Karena sudah ada
orang lain di hatimu. Aku lebih senang menunggu tanpa kepastian darimu.
Setidaknya dengan begitu aku masih bisa berharap denganmu.
Bertahun-tahun
bersahabat dengan kau, tak pernah ada gadis lain yang dekat denganmu selain
aku. Dekat saja tidak ada, apalagi menjadi kekasih. Membuat benih harapan
langsung saja tumbuh subur di hatiku. Setidaknya aku masih bisa bermimpi untuk
menjadi kekasihmu.
Tapi akankah mimpi
itu masih ada jika kau kembali?
Tahun kesepuluh
Apakah kau masih
ingat denganku?
Tidak terasa ya…
sudah sepuluh tahun sejak kau pergi. Sudah sepuluh tahun pula aku menghabiskan
musim semi yang selalu indah ini, hanya dengan duduk di bawah pohon Sakura
putih. Menunggu janjimu yang akan datang saat masih ada kelopak bunga putih di
pohon ini.
Tapi anganku seakan
pupus begitu saja. Hanya tinggal satu kelopak bunga Sakura lagi yang
menggantung di ujung pohon itu. Aku tau, satu tarikan nafas dari tuan angin
akan menggugurkannya. Dan saat itulah, anganku untuk bertemu dengamu tahun ini
juga gugur.
Waktu terus
berputar, membiarkanku yang seakan terus menunggu tanpa akhir. Jingga sudah
membungkus cakrawala. Kelopak terakhir bunga Sakura itu masih mengayun-ayun
lembut dipermainkan angin. Belum melayang-layang jatuh.
Aku bangkit dari
dudukku. Menghela nafas, lalu mendongak ke arah kelopak terakhir bunga yang
masih mengayun di atas pohon itu.
Mungkin bukan tahun
ini. Aku berbalik, hendak pergi. Berharap tahun depan masih ada bunga Sakura
putih dan angin musim semi di tempat ini.
“Ayame!!!”
Jantungku berhenti
berdetak saat itu juga.
Suara itu. Meski
sudah sepuluh tahun tidak mendengarnya, suara itu masih terdengar sama. Serak.
Basah. Menyenangkan.
“Aoyama!!!” aku
berbalik, lalu menghambur ke arahmu. Ternyata kau menepati janjimu. Kau muncul
tepat saat kelopak terakhir Sakura putih itu masih menempel di pohonnya
Kristal bening
berguguran dari pelupuk mataku. Sedih. Senang. Terharu. Semua menjadi satu. Aku
menangis dalam bahumu. Kau membelai rambutku lembut, selembut angin musim semi.
“Gomen aku telah
mengingkari janjiku dulu.”
“Tidak.” Aku
menggeleng. Membuat Kristal bening lain gugur dari bola mataku. “Kau tetap
menepati janjimu,” bisikku lirih.
Beberapa menit
berlalu. Tangisku mereda. Kau melonggarkan sedikit pelukan di antara kita.
Saat itulah mata
kelabumu menatap lensa hitam milikku. Ah… tatapan yang sejak dulu sudah
memesonakan aku.
Setelah basa-basi
sebentar, tiba-tiba kau berbicara. “Oh ya, aku mau kau berkenalan dengan
seseorang.”
Deg. Seseorang?
Siapa? Apakah salah satu gadis pemujamu saat SMA dulu? Atau ada gadis lain?
Ah, harusnya aku
tidak berharap banyak darimu. Kau tampan. Pasti ada banyak gadis diluar sana
yang berebut untuk jadi kekasihmu. Aku yakin sekali, gadis-gadis itu pasti
sangatlah cantik—cocok berdampingan denganmu yang tampan.
“Siapa?” aku
bertanya meski tidak ingin mendengar jawabannya.
Kau tersenyum. Lalu
seorang pria berambut emas dipotong pedek muncul dari balik punggungmu.
Tingginya sejajar dengan kau, dan itu artinya aku yang pendek ini harus
mendongak demi melihat wajahnya lebih jelas. Ah… pria itu juga memiliki lesung
pipi rupanya. Manis. Tapi tetap kalah manis dengan gingsul di gigimu itu.
Aku menghela
nafas—sedikit—lega.
“Ryuu perkenalkan
ini Ayame.”
Pemuda bernama Ryuu
itu mengulurkan tangannya. “Jadi ini gadis yang kau ceritakan pernah berebut
roti denganmu.” Tertawa. Kau juga.
Demi kesopanan aku
tertawa.
“Ayame, perkenalkan
ini Ryuu—” Aku menyambut uluran tangan kekar pemuda itu. Angin musim semi
berhembus, menggugurkan kelopak bunga Sakura terakhir. Dan kalimatmu
selanjutnya juga berhasil menggugurkan anganku. “Kekasihku…”
Aku kembali tertawa.
Kini perih.
Jadi selama ini, aku
menunggu dan mencintai seorang pria g*y?!
Dadaku sesak.
Sungguh!! Masih jauh lebih baik ditolak, dibanding kenyataan bahwa seseorang
yang dicintai ternyata g*y.
Dan saat itu aku
berharap bumi menelanku bulat-bulat ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar