“Dik,
mana jambunya?!” teriakku lantang mendangak ke arah pohon jambu itu. Di salah
satu dahannya si Dika berusaha memetik satu persatu jambu dan menjatuhkannya ke
arah kami.
“Iya..
iya, bentar!” sahutnya kemudian.
Pukk!
Pukk! Pukk!
Satu
persatu jambu hasil petikan Dika saling berjatuhan. Aku, Reyna, dan Azzam
memungutinya dan mengumpulkan ke kantong plastik berukuran besar. Tapi.. ada
jambu yang menggelinding jauh dan berhenti tepat di tungkai kaki seseorang. Aku
berhenti dan diam di tempat sambil kupandangi kaki misterius itu sampai ke
atas.
“Ini
jambu kalian?” tanya seorang cewek padaku.
Aku diam
lagi saat kulihat wajahnya sangat cantik. Kecantikannya itu melebihi aku dan
membuat aku iri banget lihatnya. Kulitnya putih mulus bak porselein, wajahnya
rada kayak cewek-cewek korea gitu deh! apalagi rambutnya yang bergelombang
indah berwarna coklat gelap.
“I… ya,
makasih ya.” Ucapku mengambil jambu dari tangannya.
“Oh iya,
boleh aku gabung sama kalian?”
Aku
sebenarnya rada terhenyak mendengar kata-katanya. Rasanya agak aneh aja cewek
secantik bidadari kayak dia gabung sama geng aku. Apalagi kalau sudah ketemu
sama si Dika. Ugh! Pasti dia nggak bakal berhenti nggegebetin cewek ini.
“Eh, Ly!
Kamu ngomong sama siapa?” mereka bertiga langsung menghampiri kami berdua.
“Wow! Ada
temen baru nih!”
“Yoi,
cantik lagi!”
Tuh kan,
si Dika mulai lagi dengan gombalannya yang super duper playboy.
“Aku
Shania, boleh aku gabung sama kalian?”
Kami
saling bertatapan mata. Ada yang mengangguk setuju, kecuali aku yang masih
kelihatan ragu. “Udah Ly, biarin aja dia mau gabung sama kita. Lagipula dengan
begini kita bisa nambah temen baru. Iya nggak?”
Azzam dan
Dika saling mengangguk setuju saat Reyna menerima Shania gabung di geng kita.
“Eh, mbak
namanya tadi siapa? Kenalin.. aku Dika. Andika Putra Lesmana.” Sontak Dika
menyerobot kami bertiga sambil mengulurkan tangannya.
“Nama
saya Shania.” Jawab Shania lagi dengan tutur kata lembut dan sopan. Hingga
membuat Dika jadi klepek-klepek nggak berdaya.
“Oh my
gosh! Nama yang cantik, secantik orangnya.”
Shania
jadi tersipu malu dan dia hanya tersenyum kecil hingga membuat rona pipinya
yang putih mulus itu jadi merah merona.
“Wooo…ooo!”
kami pun saling menyoraki Dika yang udah keterlaluan playboy.
“Eh,
jangan macem-macem ya! Inget Pramesti tuh!”
“Iya…
iya! lagian aku juga masih setia kok sama dia.” Sungut Dika rada kesal.
“Ya udah
deh, kalau begitu kita makan jambu bareng-bareng yuk!” unjuk Dika dengan nada
bijak. Lantas, kami berlima duduk di bawah pohon jambu besar di kebun milik pak
Usman dan menikmati jambu hasil buruan kami beramai-ramai.
—
“Reyn,
anterin gue pipis dong. Gue takut nih!” bisikku sambil membangunkan Reyna.
Kulihat dengan samar-samar lampu pijar eyangku yang redup itu. Suasananya
sangat sepi karena semua orang lagi tidur.
“Duh, gue
ngantuk banget nih. Ke kamar mandi sendiri aja ya, Ly.”
Aku
sedikit mendesah. Kebiasaan deh kalau Reyna itu susah banget dibangunin.
Akhirnya
dengan terpaksa aku bangun sendirian dan pergi ke kamar mandi. Aku membuka
pintu besar itu dan di samping kananku ada ruang besar yang digunakan untuk
ruang makan keluarga eyang. Dan..
Sekelebat
aku ngerasa ada yang orang yang melintas di balik gorden jendela. Cepet banget
menghilangnya. Aku berusaha tenang, mungkin ini cuma halusiku aja yang suka
mikir macem-macem. Maklum, akhir-akhir ini aku suka banget nonton film horor.
Aku berjalan mengarah ke samping kiriku, tempat dimana ada pintu lagi yang akan
mengantarkan aku ke kamar mandi. Lagi-lagi.. aku merasa ada yang melintas di
belakangku. Dan sontak aja aku menoleh ke belakang.
“Siapa
itu? Eyang? Reyn? Dika?” aku manggil nama-nama orang yang ada di rumah ini.
Tapi nggak ada jawaban, buru-buru deh aku ngacir ke kamar mandi dan nggak
peduli apa yang tadi melintas di belakangku. Beberapa menit kemudian aku keluar
kamar mandi. Dan akan masuk ke dalam rumah. Karena kamar mandi dan dapur
eyangku letaknya terpisah dari ruangan-ruangan lain. Letaknya pun di belakang
rumah.
Saat itu,
samar-samar aku melihat ada sosok misterius yang sedang berdiri di dapur gelap
eyangku. Tepatnya di depan pintu kecil yang menghubungkan dapur dengan kandang
ayam. Wujudnya nggak terlalu kelihatan jelas. Tapi aku bisa menerka sosok itu
cewek. Ia memandangi aku sebentar, hingga aku cepat-cepat masuk dan menutup
pintu. aku menyeruak di antara selimut tebalku dan berusaha menghilangkan
tentang sosok cewek tadi.
“Duh,
jujur Reyn! Gue tuh semalam lihat penampakan gitu di dapur eyang. Gue takut
banget!”
“Udah
deh, Ly. Makanya jangan kebanyakan nonton film horor. Jadi kayak gitu deh
akibatnya!” kata Reyna sambil ngomel-ngomel dan dia lagi asyik ngemil klanting
(makanan khas daerah eyangku) kami berdua duduk di pagar tembok mengarah ke
kebun eyang dan dikejauhan sana ada kebun pak Usman. Aku cuma diam, dan ngaku
kalau aku yang salah. Tapi bisa nggak sih Reyna percaya sama aku sedikit aja
kalau itu memang bener-bener kenyataan?
Saat
Reyna menyingkir dari hadapanku untuk menghampiri Azzam yang lagi asyik
internetan di atas dipan kayu, aku melihat sosok cewek itu dari balik
pohon-pohon rambutan disana. Dia lagi-lagi menatap aku, hingga akhirnya aku
berdiri untuk manggil Reyna.
“Reyn,
i…ii.. ituu! ii..tu cewek yang gue lihat kemarin malem!”
“Mana
sih? orang nggak ada apa-apa kok!” ketus Reyna kelihatannya rada jengkel
mendengar aku suka mikir yang macem-macem. Apalagi tentang hantu.
“Eh, Ly!
Mau kemana?” tanya Reyna manggil aku.
Aku nggak
ngegubris dia sama sekali. Aku keluar dan menghampiri pohon rambutan tempat
dimana aku lihat ada penampakan cewek tadi. Saat aku ada di dekat pohon itu,
ternyata nggak ada apa-apa. Justru secara mendadak aku ngerasa ada yang menepuk
bahuku.
“Aaaaa!”
aku menjerit.
“Lily?”
ternyata suara itu berasal dari Shania. “Kamu ngapain disini?” tanya Shania
padaku.
“Eng…
eng.. enggak kok. aku Cuma.. ya cuma lihat-lihat aja, sambil menikmati udara
pagi yang masih segar ini.”
“Oh,”
“Kalau
kamu, Shania?” aku balik tanya sama dia.
“Sama
kok, aku juga lagi jalan-jalan terus ketemu sama kamu deh.”
“Kamu
nggak kerja atau kuliah?”
Shania
menggeleng dengan cepat. Sambil berkata, “Kuliahku lagi libur.”
“Kita
jalan-jalan bareng yuk!”
“Oh,
boleh-boleh. Kalau aku ajak temen-temenku gimana? Kamu nggak keberatan kan?”
“Tentu.”
Ucap Shania dengan senyumnya yang begitu hangat.
Akhirnya,
aku manggil ketiga temanku untuk ikut jalan-jalanku dengan Shania. Hari ini
kami akan keliling desa eyangku. Mungkin ke empang atau ke pinggir sawah atau
kalau enggak berburu jambu mete dan buah asem kali ya.
“Gila ya!
Tuh cewek secantik Shania masa tinggal sendirian sih di rumah besar itu?” ujar
si Azzam sambil membuka obrolan kecil kami saat perjalanan pulang ke rumah
eyang. Kami lagi asyik menyusuri jalanan kecil dengan samping kiri kami rumah
warga yang dipagari oleh semak-semak belukar dan samping kanan kami kebun yang
sebagian besar ditanami pohon kelapa dan singkong.
“Iya sih,
gue takutnya dia diperk*sa sama maling..”
Hus!
Reyna dengan cepat memotong ucapan Dika yang belum selesai itu.
“Elo tuh
ngaco banget sih kalo ngomong.”
“Iya tuh,
ngomongin yang enggak-enggak. Tentang Shania lagi.” imbuh Azzam membela omongan
Reyna.
“Gue kan
cuma mengkhawatirkan Shania, bro!” sengak Dika lagi.
“Mengkhawatirkan
sih boleh aja, tapi nggak gitu-gitu amat kalee!”
“Assh,
kalian ini pada ngomongin apaan sih?!” ucapku dari tadi ngerasa aneh selama
perjalan pulang kami. “Kalian ngerasa ada yang ngikutin kita di belakang
nggak?”
“Tuh,
mulai lagi deh ngehayalnya!” semprot Reyna lagi-lagi protes.
“Ah udah
deh! Daripada ngomongin Shania apalagi nggubris tentang khayalan tingkat tinggi
si Lily, mending buruan deh jalannya. Udah mau maghrib nih! Keburu gelap tahu!”
Kata
Azzam menyudahi argumen konyol kami. Akhirnya kami mempercepat langkah kaki
yang masih berdiri di pertigaan jalan setapak ini. karena jalanan di depan
rumah eyang hampir gelap. Cuma dipancari sebuah lampu pijar di pinggir jalan.
Itu pun jauh dari tempat kami melangkah. Dan beruntung banget, karena rumah
eyang tinggal beberapa langkah lagi. jadi kami bisa sampai disana sebelum azan
maghrib berkumandang dan hari senja telah benar-benar gelap.
Hari ini,
kami bertiga punya kesempatan buat mampir ke rumah Shania. Maklum mumpung kami
belum kembali ke Solo. Dan menikmati liburan kuliah kami yang masih tersisa
banyak. Kami menembus tumbuhan ilalang yang tumbuh melintang di sekitar rumah
besar Shania.
Rumah
Shania terletak di belakang kebun pak Usman dan itu pun kami harus melintasi
lahan persawahan yang luasnya berhektar-hektar. Duh, sumpah deh! kalau
dipikir-pikir rumah Shania tuh beda banget sama rumah-rumah lain. Rumah Shania
letaknya sangat sulit dijangkau oleh sebagian besar warga desa. Letaknya sangat
tertutup oleh rimbunan pohon bambu dan rumput ilalang yang sudah memanjang.
Hingga menutupi pandangan rumah itu. Ditambah letak bangunan besar itu di atas
lahan kosong dan agak berdekatan dengan kuburan. Hii…! serem amat ya. Tapi yang
bikin aku heran, kenapa Shania berani amat tinggal sendirian di tempat ini.
“Hai,
teman-teman.” Sapa Shania pada kami bertiga yang tengah memasuki ruangan tengah
rumahnya. “Selamat datang di rumahku ya, anggap aja rumah ini kayak rumah
kalian.”
“Eh..
iya.. iya, Shan. Betewe, rumahmu gedhe banget ya! Tapi, sayang banget kalo…”
“Ssst!”
senggol Reyna pada Dika. Aku dan Azzam cuma bisa geleng kepala saat lihat
tingkah konyol mereka berdua.
“Ah, Dika
bisa aja deh.” Lagi-lagi Shania cuma bisa menyungging senyum karena malu si
Dika habis-habisan memujinya. Menurutku itu bukan kata pujian, tapi lebih ke
sindiran.
Kemudian,
Shania segera mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu.
“Sebentar
ya, Shania pergi ke dapur dulu. Bikin suguhan buat kalian semua.”
“Oke deh,
Shania.” Ucap Azzam kemudian.
“Eh..
Reyn – Ly, gue sama Dika keliling rumah Shania sebentar ya!” tungkas Azzam pada
Reyna.
“Iya..
iya, tapi jangan lama-lama ya!” balas Reyna.
Kulihat
Azzam dan Dika segera cabut dari tempat kami yag sedang duduk manis di sofa.
“Lily…
tolong aku, Ly…” tiba-tiba aku mendengar suara bisikan aneh di telingaku. Dan
ngerasa ada desir angin di dekatku. “Keluarkan aku dari sini…” bisikan itu
terus menghantui aku sejak aku masuk di rumah ini. Aku berusaha tenang dan
melihat-lihat seisi rumah Shania sambil melupakan bisikan aneh tadi.
Kulihat
atap-atap rumah Shania seperti sudah sangat kusam dan hampir dimakan usia.
Apalagi kipas hias itu juga hampir mau copot karena bergoyang-goyang diterpa
angin.
Gubrakk!
Terdengar suara benda jatuh yang nyaris membuat kami kaget.
“Tenang,
paling cuma tikus kok.” ujar Reyna menenangkanku.
Apa?
tikus? Mustahil deh! Masa rumah segede ini ada tikusnya sih? kecuali kalau
rumahnya nggak terawat dan nggak berpenghuni.
Fiuh! Aku
mencoba tenang lagi. dan lagi-lagi bisikan yang sama muncul di telingaku sambil
diiringin suara jeritan cewek yang lagi merintih kesakitan juga suara hantaman
benda-benda tumpul mendera tubuhnya bertubi-tubi.
“Aarghhh!
Sakittt!”
“Bugg…
bugg… bugg!”
“Argggh!”
“Tolong
aku…! tolong!”
“Bugg…
bugg… bugg!”
“Bunuh
saja aku! Bunuh aku!”
Aku
mencoba memejamkan mata sambil komat-kamit mengucap kalimat istiqfar dan tahlil
berkali-kali. Sampai-sampai, saking aku ketakutan telapak tanganku dibuat basah
karena keringat dingin. Dan aku mengenggam erat lengan Reyna.
“Eh, Ly.
Tangan lo kok berkeringat sih? lo sakit ya?” tanya Reyna jadi kaget.
“Reyn,
please deh! Gue takut.. gue tadi denger bisikan aneh dan mengerikan semenjak
masuk di rumah ini. Gue mau pulang aja!”
Reyna
menghela nafasnya sebentar. “Ly, please deh! Masa sih kita baru sampai disini
trus tiba-tiba pulang gitu aja. Nggak enak hati tahu sama Shania.”
“Tapi,
Reyn. gue takut banget!”
“Udah
deh, tenangin dulu pikiran lo. Nyebut, Ly!”
Reyna
cuma bisa mengelus-elus tanganku. Dan aku berusaha tenang walaupun masih
ketakutan.
Sementara
itu, Dika dan Azzam kembali dengan gurat rasa penuh kecurigaan.
“Eh, tahu
nggak kalian? Dari tadi gue sama Dika keliling rumah Shania, nggak ada foto
yang nunjukkin keluarganya Shania di sini. Gue heran deh, ini rumah Shania atau
bukan sih?”
“Eh,
mungkin aja Shania nyimpen foto keluarganya di suatu tempat. Udah deh, daripada
mikirin tentang foto keluarga Shania mendingan mikirin si Lily tuh! Dia lagi
ketakutan karena denger suara bisikan aneh.”
“Beneran
Ly?” tanya Dika padaku.
Aku nggak
menjawab pertanyaannya. Selain aku diam dan berusaha melupakan bisikan aneh itu
sejak tadi.
“Maaf ya
aku lama banget bikin suguhannya buat kalian.” Tiba-tiba Shania muncul sambil
membawa baki berisi minuman es sirup merah dan kue lapis untuk kami. Dia
menurunkan baki itu di atas meja dan menaruh suguhan itu satu persatu.
“Dinikmati
ya suguhannya. Cuma itu yang aku punya.”
“Iya,
Shania.” Reyna membalasnya dan kami bertiga berusaha tersenyum walaupun keadaan
rumah Shania nggak bisa ngebuat kami bertiga senyum seutuhnya. Aku pun juga
turut tersenyum, dan berusaha menghilangkan kekacauan pikiranku dengan
mengambil minuman es sirup merah itu. Baru aku mau menyeruput minuman hasil
bikinan Shania, tiba-tiba yang aku lihat adalah segelas darah merah segar di
hadapanku. Aku semakin ketakutan dan..
Pyarrr!
Gelas itu nggak sengaja aku buang ke lantai.
“Darahh!
Darah!” aku berteriak-teriak sambil memandangi cairan merah yang membasahi
lenganku.
“Ly,
apa-apaan sih?” kata Reyna. “Ini bukan darah, tapi sirup!”
“Oh, aku
ganti dengan air putih aja ya.” Kata Shania sambil bergegas ke dapur.
Sementara
aku cuma bisa berdiri menjauh dari tempatku duduk tadi.
“Ly, lo
kenapa? Kok lo mendadak jadi kayak gini sih?”
Kemudian,
Shania datang lagi dan menyodorkan serbet untukku. Tapi..
Lagi-lagi
yang aku lihat bukannya serbet bersih, justru kain kotor yang berlumuran darah.
“Stop..
stop.. stop! Gue benci semua ini. Gue benci!”
Shania
memandang heran dari aku. Begitu juga dengan Dika, Azzam, dan Reyna.
“Gue mau
pulang sekarang juga! Gue nggak mau dibikin gila gara-gara teror sialan ini!”
“Ly!”
sahut Reyna manggil namaku dan segera menyusul aku yang udah duluan pergi ke
pintu utama.
Aku
mencoba buka pintu besar itu, dan.. ini aneh! Pintu itu sudah terkunci. Aku
mencoba goyang-goyangin handle pintu itu sampai beberapa kali. Tapi hasilnya
tetep nihil .. ( to be continue )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar